top of page

SEBERKAS KISAH DARI GURUN BOTSWANA


Awal kata

Barangkali terlalu pagi untuk berbagi pengalaman misi mengingat ziarah saya di tanah misi baru ‘sepelemparan batu’ saja (baru 5 tahun). Saya masih minim pengalaman dan karena itu miskin kata untuk bertutur. Tetapi dengan kedinian durasi waktu yang saya punyai, izinkanlah saya untuk berkisah tentang suka duka saya (kami) di tanah misi Botswana-Afrika. Apa yang saya goreskan berikut ini adalah pengalaman pribadi saya yang diceritakan dengan gaya naratif apa adanya dan sedikit refleksi sekenanya saja. Kiranya tulisan kecil berikut ini bisa menjadi sebuah ‘sharing’ sekaligus sebuah ingatan (untuk saling mendoakan) buat kita bahwa kita memang bekerja di belahan bumi yang berbeda dengan pengalaman yang berbeda tetapi kita terlahir dari rahim yang sama (SVD) dan melayani Tuhan yang sama. Dan kalau boleh, biarlah tulisan kecil ini menjadi kado awal buat mereka yang mau ‘melintasi batas’ khususnya buat ade-ade saya yang mau ‘menyebereng’ ke ‘negeri penuh zebra’-Botswana.

Secuil tentang SVD di Botswana

Botswana adalah negara kecil di bagian selatan Afrika. Negara yang berpenduduk tidak lebih dari 2,3 juta jiwa ini (sensus 2016) dikelilingi daratan (tidak ada lautan) dan berbatasan langsung dengan Afrika Selatan, Zambia, Zimbabwe dan Namibia. Negara yang mempeoleh kedaulatannya pada tahun 1966 ini sebagian besar terdiri dari gurun kering dengan curah hujan sangat minim sehingga pertanian tidak bisa diandalkan sebagai modal utama perekonomian. Perekonomian negara bertumpu pada tambang intan, emas, tembaga dan mineral. Pariwisata juga memainkan peran penting dalam perekonomian. Okavango delta dan kekayaan satwa liar yang dimiliki Botswana menjadi daya tarik sendiri untuk meningkatkan devisa negara. Tak cuma itu, ragam kekayaan budaya juga mengundang banyak orang untuk mengunjungi Botswana.

Agama Katolik masuk ke Botswana 89 tahun yang lalu tetapi secara resmi gereja Katolik terbentuk sebagai sebuah keuskupan pada tahun 1966. Kami baru saja merayakan 50 tahun keberadaannya sebagai sebuah keuskupan pada October 2016 lalu. Hingga tahun 1998, gereja Katolik Botswana hanya memiliki satu keuskupan tetapi di tahun yang sama Vicariate of Francistown terbentuk di bagian utara dan uskup pertama adalah Frank Nubuasah, SVD (hingga saat ini). SVD menginjakkan kakinya di Botswana pada tahun 1981. Kemudian SVD Botswana melebarkan sayapnya ke Kenya, Zambia, Zimbabwe dan Afrika selatan. Seiring waktu, Kenya, Zambia dan Zimbabwe menjadi otonom dan sekarang Provinsi Botswana cuma terdiri dari dua negara, Botswana dan Afrika Selatan (kemungkinan besar Afsel dalam waktu dekat akan memisahkan diri).

SVD di Botswana (negara) hampir semuanya menangani bidang parochial. Para konfratres bekerja di paroki dan sekolah. Di keuskupan Gaborone (selatan) kita cuma memiliki satu paroki (Holy Cross-Mogodisthane) sedangkan di utara (Vicariate) kita menangani 6 paroki. Kita juga mempunyai Primary School (SD): St. Arnold Janssen yang terletak di vicariate Francistown. Konfrater asal Indonesia yang ada di provinsi Botswana berjumlah 8 orang, 2 di Afsel dan 6 di Botswana.

Memasuki usianya yang ke 36 tahun ini, SVD Botswana belum memiliki panggilan lokal (belum ada satu orang lokal pun yang menjadi bruder atau pastor SVD). Beberapa pernah mencoba tetapi gagal di tengah perjalanan. Kadang saya bertanya, apa yang mesti kami buat untuk mendapatkan panggilan lokal? Bukankah kami sudah berbuat ini dan itu? Adakah yang masih kurang? Mungkin ini menjadi pekerjaan rumah buat kami (khususnya saya sebagai ‘vocation promotion’ untuk wilayah Botswana). Pada akhirnya saya cuma bilang, beranilah bermimpi dan biarlah kehendak Tuhan yang terjadi atas mimpi-mimpi kita.

Ziarah 3 tahun awal: Menyeberangi kecemasan dan ketakutan menuju rasa nyaman dan percaya diri

Kecemasan dan ketakutan adalah hal lumrah yang dialami oleh siapapun. Bagi saya kecemasan dan ketakutan adalah sebuah keharusan awal yang mesti ada (bagi seorang peziarah) untuk bisa menyeberangi batas dan melayari lautan, apapun namanya itu. Hal ini penting karena kecemasan dan ketakutan akan memacu kita untuk ‘mempersenjatai’ diri demi sebuah kesuksesan penyeberangan lintas batas. Sebagai seorang misionaris yang melintasi batas, rasa takut dan cemas ini saya alami di awal ziarah saya di bumi Botswana. Kecemasan dan katakutan ini sudah langsung menampar saya pada malam pertama ketika menginjakkan kaki di tanah penuh Zebra ini. Masih segar dalam ingatan saya, malam itu, pada 27 Agustus 2012, setelah menunggu hingga penat (11 Jam) di Nairobi Airport (Kenya) akhirnya Air Botswana mendarat dengan mulus di Sir Seretse Khama International aiport Gaborone- Botswana. Ya, kala itu, jam Sembilan lebih sedikit, saya tiba dengan selamat di tanah misi Botswana. Malam itu tamparan pertama berasal dari cerita tentang pencurian dan perampokan yang baru saja terjadi di pastoran tiga hari sebelumnya. Seorang konfrater masih diperban kepalanya karena luka akibat bacokan kawanan pencuri, luka cukup lebar dan dalam.

Rasa takut dan cemas yang saya alami di perjumpaan awal, kini kian menjadi manakala belum juga sampai sebulan berada di tanah misi, kasus pencurian terjadi di pastoran, tempat saya tinggal. Malam itu sekitar pukul dua dini hari, saya mendengar bunyi-bunyian dari pintu dapur dan selanjutnya suara ribut-ribut dari kamar tamu dan kantor paroki. Dengan gemetar saya memeluk salib misi dan berdoa agar pencuri tidak datang ke kamar saya. Dan Tuhan menjawab doa saya. Setelah beberapa waktu pencuri pergi tanpa mendatangi kamar saya maupun kamar pastor paroki (sesuatu yang sangat jarang terjadi. Biasanya kalau pencuri datang, mereka akan mengeledah seluruh ruangan dan membawa apapun yang mereka suka). Malam itu, kawanan pencuri berhasil membawa pergi sejumlah uang dari kantor paroki dan beberapa peralatan elektronik. Pagi harinya, Pastor paroki, Pater Tony (asal India), menguatkan saya dengan mengatakan: ‘Jangan takut, doa dan berdoa terus sebab doa adalah kekuatan paling ampuh bagi seorang misionaris’.

Rasa cemas dan takut akan bahasa, budaya, kebiasaan dan adat-istiadat yang baru, juga saya alami. Tiga bulan lamanya saya bergelut dengan bahasa Setswana (bahasa pergaulan orang Botswana), mengambil kursus privat dengan seorang mantan guru SD, salah satu umat paroki. Tiga bulan setelahnya, saya mengambil ‘live in’ di pedesaan untuk mendalami bahasa, budaya dan adat istiadat setempat. Enam bulan bukanlah waktu yang cukup untuk fasih berbicara dan mendalami budaya dan adat istiadat yang baru, tetapi dalam kurun waktu yang singkat ini, sekurang-kurangnya saya sudah sedikit demi sedikit bisa mengikis rasa takut dan cemas akan hal ini. Sehabis kursus, saya mendapat penempatan sebagai pastor pembantu (pastor paroki Fr Ariel Tampus, SVD dari Filipina: sudah balik ke Filipina 2 tahun lalu) di Mogoditshane, satu-satunya paroki di ibu kota negara di mana SVD bekerja.

Holy Cross-Mogoditshane adalah paroki yang ‘menantang’. Selain letaknya di ibu kota negara, orang-orangnya (umat paroki) juga berasal dari berbagai negara dengan berbagai latar budaya, adat istiadat dan pendidikan yang berbeda. Kebanyakan dari mereka bekerja di kantor-kantor pemerintahan atau perusahaan. Ada kegugupan awal di sini dan kegugupan ini melahirkan tanya: apakah dengan latar belakang filsafat dan teologi yang saya miliki, apalagi dengan keterbatasan bahasa yang saya punyai, saya bisa menjawabi kebutuhan umat khususnya membayar kepercayaan yang diberikan kepada saya? Seiring waktu, perlahan tapi pasti saya pun berhasil membunuh kegugupan dan rasa takut yang saya miliki. Saya akhirnya menemukan jawaban bahwa Filsafat dan teologi yang kita pelajari di bangku kuliah adalah bahan mentah yang bisa diposisikan dimana saja di ranah kehidupan ini , itu tergantung bagaimana kita meracik yang mentah menjadi bahan yang siap pakai.

Secara pribadi, saya akui bahwa tantangan awal yang saya alami di paroki kota ini adalah bagaimana dengan ‘keindonesian’ khususnya ‘kefloresan’ (kalau tidak mau dibilang kemanggaraian) yang saya miliki, apalagi dengan kemampuan bahasa yang masih minim, bisa masuk dalam pusaran global kehidupan kota dan lebih lagi bisa menjawabi rasa lapar umat akan kebutuhan spiritual? Langkah awal yang saya buat adalah membuang rasa malu, minder dan takut untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapapun. Pengalaman 3 tahun berada di unit luar-Gere sepertinya melapangkan jalan bagi saya untuk bisa ‘berada’ bersama mereka (umat). Kehadiran saya di tengah mereka cukup diapreasiasi dengan baik (kata mereka: saya adalah pastor yang rajin mengunjungi umat dan dekat dengan umat khususnya orang-orang lokal (Batswana-orang-orang Bostwana). Hal ini mungkin karena gaya pastoral saya yang sederhana dan ramah, mengunjungi umat dari rumah ke rumah khususnya yang sakit (sekali seminggu). Untuk menjawabi kebutuhan rohani umat, hal rutin yang kami buat di paroki adalah misa harian dua kali setiap hari, pagi berbahasa inggris dan sore berbahasa Setswana. Setiap hari sebelum misa harian selalu diawali dengan doa Rosario. Misa hari minggu diadakan dua kali, bahasa inggris dan bahasa lokal, yang didahului dengan adorasi sakramen maha kudus. Setiap hari selasa sore ada sharing Kitab Suci dan misa lingkungan untuk umat berbahasa lokal (8 lingkungan, secara bergilir dari lingkungan ke lingkungan) dan hari kamis sore untuk umat berbahasa Inggris (7 kelompok berdasarkan negara). Sakramen pengakuan dan konsultasi dibuat tiap hari. Setiap Sabtu sore ada pelajaran buat misdinar, anak-anak dan youth/OMK, juga katekumen (ditangani para katekis). Kami juga (pastor paroki dan saya) memperkenalkan spiritualitas St Arnold Janssen kepada umat. Setiap senin sore selesai misa ada adorasi kepada Roh Kudus dan setiap Jumat ada adorasi kepada Hati Kudus Yesus. Selasa pertama dalam bulan ada pertemuan dan misa untuk kelompok awam SVD. Semua kegiatan ini bukan saja membantu kehidupan spiritual umat tetapi juga sangat membantu perkembangan spiritual saya sebagai seorang imam. Saya belajar banyak dari umat.

Tantangan lain adalah tentang tugas yang dipercayakan kepada saya untuk menangani kelompok misdinar dan anak-anak muda. Selain pertemuan wajib setiap hari Sabtu, ada beberapa kegiatan lain yang kami buat seperti rekoleksi dan ret-ret, outing dan kunjungan ke paroki tetangga atau kegiatan ekumene dengan gereja lain. Berada bersama mereka (OMK) adalah sebuah kebahagiaan sekaligus tantangan tersendiri buat saya. Bahagia karena saya bisa merasakan suka-duka, kecemasan dan harapan mereka. Tantangan karena masalah umum yang saya temukan di kalangan anak-anak muda ini adalah kehilangan kasih sayang dari bapa atau mama, alcohol dan seks bebas. Bagaimana saya bisa membawa mereka keluar dari ‘lingkaran setan’ ini adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah.

Tantangan lainnya adalah ‘Domestik crime’ seperti pencurian dan perampokan. Botswana sesungguhnya adalah negara yang aman dan damai. Semua orang hidup penuh persaudaraan dan damai. Tidak pernah ada cerita perang antar suku atau gesekan politik yang berbau sara. Tidak ada juga cerita tentang kaum pemberontak atau bentrok antar agama. Semuanya hidup berdampingan sebagai saudara. Cuma pencurian dan perampokan adalah cerita harian yang sudah menjadi biasa didengar telinga. Ada sebuah ‘kepercayaan’ di tengah masyarakat bahwa gereja (Katolik) memiliki banyak uang karena itu banyak gereja, pastoran dan biara menjadi sasaran pencurian dan perampokan. Sekurang-kurangnya sudah empat kali pencuri datang mengunjungi kami. Uang, barang-barang elektronik bahkan patung Tuhan Yesus dan monstrans sekalipun mereka ambil. (‘Thanks God’, uang dan barang-barang lainnya mereka boleh ambil asalkan kami selamat).

Tantangan lainnya adalah masalah seks bebas dan HIV/AIDS. Botswana adalah salah satu negara dengan tingkat HIV/AIDS tertinggi di Afrika. Sudah banyak usaha dari pemerintah untuk menekan laju penyakit yang tak akan pernah sembuh ini. Salah satu langkah konkrit adalah mempromosikan penggunaan kondom kepada masyarakat dengan menyediakan kondom di tempat-tempat umum atau membaginya kepada masyarakat. Langkah ini mungkin dilihat secara kasat mata sebagai penekan lajunya tingkat penyebaran HIV/AIDS tetapi justru di lain sisi semakin menjamurnya seks bebas khususnya di kalangan remaja. Dari pihak gereja (sejauh pengalaman saya dan yang sudah kami buat) sudah banyak usaha yang dilakukan untuk memerangi penyakit sosial ini seperti workshop tentang seks, seminar tentang kesehatan dan keutuhan keluarga. Mimbar kotbah kami gunakan juga untuk berbicara tentang hal ini. Keuskupan sendiri sudah punya ‘Hospice’ sebagai langkah peduli untuk menampung dan merawat mereka yang menderita ‘terminal ill’ khususnya pasien HIV/AIDS. Mungkin terlalu dini buat saya untuk mendiagnosa penyebab tingginya tingkat seks bebas dan HIV/AIDS ini. Tetapi realitas di lapangan berbicara bahwa kesetiaan terhadap pasangan hidup adalah barang langka yang sulit didapat. Boleh jadi ini dilatarbelakangi oleh budaya yang ‘masih mengizinkan’ suami boleh memiliki lebih dari satu istri. Hal lain dipengaruhi juga oleh gaya hidup santai, hedonis dan instant. Semangat hidup ‘Carpediem’ sungguh mengakar. Banyak orang tidak (kurang) berpikir tentang hari esok, yang ada cuma hari ini, nikmati hari ini, jangan pikir tentang hari esok. Barangkali ini diakibatkan juga oleh sikap pemerintah yang sepertinya terlalu memanjakan masyarakat dengan pendidikan gratis, kesehatan gratis dan banyak lagi sumbangan lainnya. Hal lain yang saya lihat sebagai penyebab adalah menjamurnya bar. Di seluruh pelosok Botswana di desa terpencil sekalipun selalu ada bar yang menyediakan bir dan minuman beralkohol lainya. Di akhir pekan, sejak Jumat sampai minggu malam banyak orang memadati bar-bar untuk pesta miras dan sangat boleh jadi esek-esek menjadi hidangan terakhir sebelum pamitan.

‘Single mother’ adalah juga tantangan pastoral yang kami alami. Di seluruh pelosok Botswana, banyak ibu-ibu (termasuk umat kita) yang mempunyai anak tapi tidak mempunyai bapa. Bahkan satu ibu bisa memiliki dua tiga anak dari ayah yang berbeda. Realitas ini melahirkan masalah di atas masalah. Bukanlah hal yang mengherankan jika anak-anak akan kehilangan kasih sayang dari orang tua dan mencari kasih sayang di luar rumah. Tidaklah mengherankan juga kalau anak-anak ini akan mengulangi lagi apa yang sudah dibuat mamanya. Sejauh ini, langkah konkrit yang sudah kami buat adalah sejauh seminar atau workshop juga katekese dan sharing kelompok umat basis tentang masalah seputar keluarga seperti pentingnya keutuhan keluarga dan pendidikan anak. Langkah lain adalah ‘mengadopsi’ anak-anak ini untuk disekolahkan di sekolah-sekolah milik kita atau sekolah-sekolah swasta lainnya.

Berbagai suka duka, tantangan dan realitas pastoral di atas membuka mata hati dan pikiran saya untuk bisa menyeberangi kecemasan dan ketakutan diri menuju rasa nyaman dan percaya diri. Nyaman yang saya maksudkan di sini adalah merasa ‘at home’ dan tenang sekalipun di tengah tantangan. Bagi saya rasa tenang dan ‘at home’ adalah modal untuk tetap focus bekerja walaupun di tengah badai. Tantangan dan kesulitan yang ada membuat saya semakin percaya diri untuk terus mencari celah solusi dan akhirnya dengan berani mengatakan bahwa di akhir setiap kesulitan selalu saja ada jawaban. Hal lain yang membuat saya semakin percaya diri adalah kepercayaan umat kepada saya. Kedekatan saya pada umat membuat mereka tak sungkan untuk mesharingkan suka duka hidup yang mereka alami. Banyak orang terbantu dengan nasihat dan doa-doa saya. Pada akhirnya saya menemukan jawaban bahwa rasa nyaman dan percaya diri ini sesungguhnya adalah rasa yang terberi dari Dia yang telah memanggil saya. Dan kalau saat ini rasa ini masih milik saya, itu semata karena cinta-Nya pada saya yang tak berkesudahan. Itu juga karena cinta dari mereka yang saya layani dan doa darimu semua.

Gumare Mission: Ladang gersang penuh harapan

Setelah tiga tahun lebih sedikit menggeluti pastoral di ibu kota negara, setahun lalu saya dipercayakan (sebagai pastor paroki) untuk menangani misi di pedalaman. Ini mungkin sebuah lompatan terjauh yang mesti saya alami. Rasa nyaman dan percaya diri yang sudah mengakrabi diri kembali digugat. Rasanya susah untuk meninggalkan tempat yang sudah kita akrab-karibi apalagi beralih ke ‘pedalaman’. Meninggalkan kenyamanan dan kembali bergelut dengan bahasa dan kebiasaan yang baru adalah sungguh merupakan sebuah panggilan yang membutuhkan ekstra energy. Pada akhirnya saya sadar bahwa saya adalah seorang misionaris dan saya harus siap diutus kemana saja. Dan akhirnya saya mendarat di sini, St. Joseph Catholic Mission-Gumare, seribuan kilometer dari tempat sebelumnya saya bekerja. Ya, kini Gumare menjadi rumah-tempat saya berada dan bekerja. Saya tidak sendirian di sini. P. Hubert Watu, SVD adalah rekan pastor yang menemani saya.

Gumare Mission secara geografis terletak di bagian utara Botswana, dekat dengan Okavango delta dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Nambia. Jarak dari Gaborone-ibu kota negara seribuan kilometer dan dari Francistown (kota terbesar kedua setelah Gaborone ) sekitar delapan ratusan kilometer. Francistown adalah tempat di mana keuskupan terletak dan juga rumah provinsialat SVD berada. Kami mesti ke Francistown untuk berbagai pertemuan SVD maupun vicariate. Kota terdekat yang bisa dicapai (Maun) untuk urusan seperti banking dan shopping berjarak 250 Km. Gumare mission mempunyai dua stasi yang letaknya langsung berbatasan dengan negara tetangga Namibia yaitu Mohembo (160 Km dari Gumare) dan Kauxwi (10 Km dari Hohembo). Bentangan wilayah yang cukup luas ini adalah rumah bagi suku-suku kecil yang ada di Botswana seperti Bambukusu (para migrant dari Namibia), Baherero (orang-orang berpakaian panjang dan bertopi lebar) dan bushman (orang-orang yang masih ‘primitif’; kalau mau tahu tentang suku yang satu ini silakan nonton Film ‘God must be crazy’). Secara administratif pemerintahan, bentangan wilayah ini adalah daerah terbelakang yang belum banyak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Banyak orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sumber penghasilan masyarakat adalah pertanian kecil-kecilan dan peternakan. Musim yang tidak bersahabat dan kemerau yang berkepanjangan adalah sisi lain dari cerita tentang kemiskinan yang seolah menambah derita masyarakat (umat).

Gumare mission adalah ladang gersang (tetapi di mata iman saya Gumare adalah sebuah ladang gersang yang penuh harapan). Kegersangan pertama nyata terbaca dari jumlah dan peran serta umat dalam kehidupan menggereja. Kalau sebelumnya saya sudah terbiasa melayani lebih dari seribuan umat, tidaklah demikian dengan Gumare. Umat di pusat paroki tidak lebih dari 20 orang tetapi yang aktif misa hari minggu tidak lebih dari 10 orang sedangkan misa harian tidak lebih dari 5 orang. Ketidakaktifan ini berangkat dari fakta bahwa hampir semua umat di pusat paroki berasal dari wilayah luar Gumare yang bekerja di sekolah atau kantor pemerintahan sehingga setiap akhir pekan mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing. Gumare sendiri adalah desa kecil yang dibanjiri oleh gereja protestan dan sekte-sektenya. Kehadiran gereja-gereja protestan yang sangat kuat dengan semangat karismatik dan menjanjikan penyembuhan dan banyak kemudahan lainnya (semisal kaya mendadak, pasangan hidup) adalah magnet yang menarik banyak orang untuk bergabung. Mungkin ini salah satu alasan mengapa kita kekurangan umat karena gaya kekatholikan kita yang dianggap ‘masih kaku’ dan ‘silentium’ (in term of liturgy) .

Mohembo dan Kauxwi adalah dua stasi yang cukup menjanjikan bukan cuma dalam soal jumlah tetapi juga dalam hal partisipasi umat dalam kehidupan menggereja. Jumlah mereka lebih dari 200-an orang (belum termasuk anak-anak) dan cukup aktif dalam berbagai kegiatan gereja. Dua kali sebulan kami mengunjungi dua stasi ini. Biasanya kami datang hari jumat sore, hari sabtu kami gunakan untuk kunjungan keluarga atau katekese atau pembinaan OMK dan anak-anak, dan kembali ke paroki hari minggu sore usai misa. Perayaan-perayaan besar seperti Natal dan pekan suci selalu kami rayakan di dua stasi ini. Perlengkapan masak (seperti periuk, makanan dan minuman) dan juga perlengkapan tidur (tenda untuk tidur) dibawa serta (jangan lupa lantera dan senter) setiap kali tourney. Tidur di bawah pohon, beratapkan langit dan beralaskan tenda adalah hal biasa yang kami lakukan jika tourney ke dua tempat ini (semacam meditasi alam yang menantang sekaligus menyenangkan).

Kegersangan lain yang kami alami adalah financial. Tidak ada subsidy dari vicariate. Biaya hidup Gumare mission sepenuhnya berasal dari subsidy SVD generalat. Tentunya apa yang kami budgetkan selalu tidak pernah total dipenuhi generalat. Kolekte tiap minggu tidak lebih dari lima puluh ribu kalau di rupiahkan. Paroki mempunyai sekolah TKK (kebanyakan dari anak-anak ini adalah mereka yang miskin dan yatim piatu) tetapi income dari sekolah cuma cukup (bahkan kadang minus) untuk membiayai biaya operasional sekolah seperti gaji guru dan staf, biaya makan minum harian anak-anak, air dan listrik, juga buku dan alat-alat tulis. Letak Gumare yang jauh dari kota berakibat pada tingginya biaya hidup. Harga barang-barang kebutuhan pokok dua bahkan tiga kali lipat dari tempat lainnya di Botswana.

Seperti daerah-daerah lain di Botswana, Gumare juga tak luput dari problem (social) seperti pencurian dan perampokan, alcohol, single mother, seks bebas dan HIV/AIDS, juga suanggi dan black magic. Tingkat kemiskinan masyarakat sangat memprihatinkan (kalau kita di Flores miskin bearti masih ada pisang dan ubi, kemiskinan yang mereka alami berarti ‘nothing at all’). Lalu bagaimana sikap gereja (paroki) dalam menanggapi situasi yang ada? Sejauh ini kami menggunakan mimbar kotbah untuk menyentil persoalan yang ada. Hal lainnya yang kami buat adalah mengunjungi rumah-rumah warga sekitar, berbicara dan membantu seadanya baik secara material maupun spiritual. Relasi yang masih terjalin baik antara saya dan umat di paroki yang lama memungkinkan saya untuk mengetuk pintu hati mereka dan berbuat sesuatu untuk orang-orang Gumare. Sejauh ini cukup banyak sumbangan seperti pakaian bekas, makanan dan minuman yang mereka berikan untuk orang-orang miskin di paroki Gumare (Thanks God for that).

Berbagai kegersangan yang kami alami di atas bukan berarti menihilkan harapan dan menumpulkan daya upaya untuk terus bangkit dan maju menuju hari esok yang lebih baik. Kunjungan dari rumah ke rumah yang kami buat setidak-tidaknya berhasil menarik satu dua keluarga yang ‘belum bergabung dengan gereja manapun’ (kalau tidak mau dibilang belum beragama) untuk ‘mengunjungi’ (menghadiri misa) gereja pada hari minggu. Ada lebih dari 15 anak di pusat paroki (kebanyakan anak-anak miskin dan yatim piatu yang sering kami bantu) mulai mengikuti pelajaran agama pada hari Sabtu. Sedangkan di stasi, Pebruary lalu saya baru saja membabtis lebih dari sepuluh anak. Para katekumen dewasa (lebih dari 15 orang) akan dibaptis pada malam paskah nanti. Sepertinya secercah harapan sudah mulai kelihatan. Saya percaya bahwa dibalik kegersangan yang ada selalu bertumbuh pucuk-pucuk harapan. Saya percaya bahwa suatu waktu nanti (kalau Tuhan menghendaki) ladang gersang ini akan berubah menjadi perkebunan hijau berpanen ganda (doakan ya).

Kata akhir

Masih banyak hal yang bisa saya ceritakan tetapi semua itu akan bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa seorang misionaris adalah dia yang bisa beralih, dia yang mampu meretas batas, dia yang mampu bertahan di tengah badai dan dia yang tak pernah tidur untuk melihat apa yang mungkin. Seorang misionaris adalah dia yang menjejakkan kakinya di bumi sembari menengadahkan kepalanya ke langit kepada Dia yang sudah memanggil. Akhirnya seorang misionaris adalah seorang yang bisa melihat ke belakang, ke kejauhan ziarah untuk mengambil napas sekaligus energy untuk terus berjalan ke hari esok.

Kalau hingga hari ini, saya masih berjalan menatap harap di tanah misi ini, itu bukan karena kekuatan saya sendiri. Ada Dia, Sang Sabda yang tak pernah alpa menemani keseharian. Ada banyak doa dan dukungan dari keluarga, teman, sahabat dan kenalan, para penjasa dan penderma yang selalu dititipkan buat saya. Terima kasih buatmu semua. Tidaklah berlebihan kalau saya juga menyampaikan salam hormat dan terima kasih buat almamater (STFK Ledalero) yang sudah membekali saya dengan rumus-rumus filsafat dan permenungan teologis yang lebih dari cukup. Filsafat dan Teologi yang sudah saya dapat dibangku kuliah bukanlah ilmu mati melainkan ‘energi’ yang siap pakai di konteks manapun. Tak cuma itu, rasa terima kasih dan syukur ini saya alamatkan juga buat rumah induk Ledalero-Bukit Sandaran Matahari yang bukan saja sudah membiarkan saya bersandar pada dadanya tetapi memampukan saya untuk bisa membagi pijar-pijarnya kepada sesama khususnya yang terpinggirkan. Ya, terima kasih buatmu bukit Leda-logos yang sudah ‘menulis berlembar Sabda’ pada mulut dan hati saya dan mengutus saya untuk terus berkisah tentang Dia - Sang Sabda yang telah memanggil. Salam dalam Sang Sabda buatmu semua.

176 views0 comments
bottom of page