top of page

SEJARAH SINGKAT LEDALERO

 

Tanggal 20 Mei 2012 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini dilaksanakan 8 September 2012. Inilah nukilan sejarahnya.

 

Ledalero Mulanya Bukit Angker

 

LEDALERO, mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi karena dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini, bukit ini memiliki daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak, pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan para anggota SVD dan sahabat-sahabat mereka di berbagai negara. 

Karena ribuan alumninya yang tersebar di berbagai tempat sebagai imam misionaris dan awam yang berkiprah di berbagai bidang, karena gagasan-gagasan yang disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja dan bangsa Indonesia, Ledalero bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup. Semuanya ini bermula 75 tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?

Pada tanggal 20 Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris SVD di Ledalero. Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937.

Keputusan mendirikan seminari tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang Dunia I. Menurut P. Frans Cornelissen yang sangat berjasa dalam pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara, aktor intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin Kongregasi Propaganda Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum, CSSR. 

Gereja Katolik yang waktu itu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi. 

Di Indonesia, terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa.

Dua orang dari angkatan pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam. 

Hanya seorang yang kemudian meneruskan pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16 Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis Yesuit di Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen membuka novisiat mereka. 

Itu berarti empat abad setelah terjadinya penyebaran agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah putera-puteri Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti. Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi karena orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini. 

Tanggapan atas Maximum Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari. 

Menurut pengakuan P. Cornelissen, Mgr. Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan seminari seminggu setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder SVD di Ende. Mulanya dia hanya disuruh ke Sikka atau Lela. Kemudian Uskup katakan, "Sudah ada begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak para uskup misi untuk membuka seminari. 

Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater bisa mulai dengan seminari itu". Frans Cornelissen memang memiliki ijazah sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan oleh Pater J. Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat mungkin dia akan ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah. 

Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang baru saja tiba di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai satu tugas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Uskup Verstraelen memang mempunyai visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga imam pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan. 

Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah pasti harus diberikan Latin, bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu putuskan sendiri apa saja yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka lebih tahu dari saya mana yang perlu."

Berbekalkan kepercayaan itu, Frans Cornelissen memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan dampak sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai dengan manusia. Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu, yakni di Todabelu-Mataloko. Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores, secara khusus pendidikan para calon imam. 

Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya, pandangan sejumlah misionaris tentang ketidaklayakan orang-orang pribumi untuk menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik; persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam seminari tetap dijalankan.

Dititip di ‘rumah Tinggi’

PADA tahun 1932, angkatan pertama seminari telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat yang karena itu disebut "Rumah Tinggi" 

Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah para lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja di wilayah ini adalah anggota SVD. Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD. Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis SVD diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober 1933. 

Enam orang dari angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga tersendiri. Karena para frater hanya dititipkan di "Rumah Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru untuk sebagai seminari tinggi. P. J Bouma yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh P. H Hermens dan P. A Visser mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan utama untuk mundur dari kemungkinan itu. Akhirnya, dengan persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini memang tempat ideal untuk sebuah  seminari tinggi, karena letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun 1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai. 

Setelah mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero, setelah mendapat persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini, seminari tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi. Rombongan pertama yang tiba di Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja Keuskupan Agung Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30 November 1938 sebagai frater. 

Tidak lama berselang, rombongan para frater yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale, yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada tanggal  28 Januari 1941. Saat rombongan para novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero" yang artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang frater mahasiswa filsafat, dan 6 orang novis. Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan. 

 

Para biarawan calon imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari sebenarnya gagal menjalankan perannya. Berkat keramahan dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para biarawan dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD. Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16%  yang ditahbiskan menjadi imam. Kini, pada saat merayakan pesta 75 tahun, seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai alumninya, di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.

 

Tiga Periode Penting

Seminari ini telah melewati tiga periode penting dalam sejarahnya. Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari Belanda, yakni dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an. Kenapa disebut demikian? Karena kebanyakan staf dosennya adalah misionaris berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di komunitas adalah bahasa Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin. Para frater harus mengenakan jubah pada hampir setiap saat. Disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan dengan umat sangat diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi yang dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD. "Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan Asia yang cerdas, tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat.

 

Jadi Markas Tentara Jepang 

IMAM pertama dari Seminari ini ditahbiskan tiga setengah tahun setelah lembaga ini berdiri, yakni pada tanggal 2 Januari 1941. Karolus Kale Bale dan Gabriel Manek ditahbiskan menjadi imam di Gereja Nita. P. Jacob Koemeester, rektor pertama Ledalero menulis tentang peristiwa itu demikian, "Minat orang serani besar sekali. Mereka kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang-orang mereka juga dapat mencapai imamat agung yang tinggi itu. Frater-frater dan siswa-siswa seminari menengah merasa kerinduannya akan imamat lebih menyala lagi dan dengan kurang sabar menantikan hari-hari itu, ketika mereka akan menerima jabatan yang sama".  Setahun kemudian, di bawah bayang-bayang Perang Dunia II dan ancaman pendudukan Jepang, generasi kedua ditahbiskan, kendati belum menuntaskan studi teologinya. Tahbisan-tahbisan "prematur" ini membantu menjawabi kesulitan yang dihadapi Gereja Nusa Tenggara, ketika hampir semua misionaris berkebangsaan Jerman dan Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Selama masa pendudukan Jepang itu pula, seminari Ledalero dijadikan markas tentara Jepang, sehingga untuk sementara para calon imam dipindahkan ke Todabelu. Fajar harapan kembali merekah bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Para misionaris dikembalikan, Gereja mengalami kebangkitan, seminari pun dihuni lagi. Rencana untuk masa depan pun ditempa lebih serius. Salah satunya adalah menyiapkan tenaga Indonesia untuk bekerja sebagai dosen di Ledalero. Caranya adalah mengirimkan orang-orang yang dipandang berbakat untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Maka, pada tahun 1948 dua imam dan tiga frater dikirim untuk meneruskan studi mereka di Belanda. Pada tahun 1955 satu dari mereka, P. Paul Sani kembali ke Ledalero dan mengajar sebagai dosen pertama asal Indonesia. 

Dengan ini dimulailah secara perlahan episode kedua, yang dapat disebut sebagai tahap Indonesianisasi. Semakin banyak tenaga Indonesia menjadi pengajar di Ledalero, walaupun tidak semuanya bertahan lama. Tahap kedua ini dipacu pula oleh perubahan di dalam Gereja yang dibawa oleh Vatikan II. Angin pembaruan yang memberikan perhatian semakin besar kepada elemen-elemen pribumi, yang umumnya disebut sebagai inkulturasi, mendorong refleksi yang semakin serius mengenai keberakaran pendidikan para calon imam SVD dalam konteks Indonesia. Pada waktu ini didiskusikan pula secara meluas soal partisipasi orang-orang Indonesia dalam kepemimpinan dalam Gereja, termasuk di Ledalero. Pekan Studi para imam tamatan Ledalero pada awal tahun 1970-an berbicara secara khusus mengenai tema ini. Rektor pertama Ledalero yang berkebangsaan Indonesia diangkat pada tahun 1966 dan menjalankan masa tugasnya untuk satu periode. Apa yang lumrah dewasa ini, pada waktu itu menjadi sebuah masalah. 

 

Dalam peta politik Indonesia, periode ini jatuh bersamaan dengan periode pemerintahan Presiden Soeharto yang melancarkan program pembangunan. Generasi para tamatan Ledalero dari periode ini ditandai oleh rasa kebangsaan yang tinggi dan dukungan bagi pembangunan yang diprogramkan pemerintah. Kemitraan dengan pemerintah menjadi hal yang penting bagi mereka. Para pejabat pemerintah sering mengadakan kunjungan ke Ledalero. Di antaranya adalah Jendral Ahmad Yani yang memberikan kuliah umum kepada para frater Ledalero lima hari sebelum dibunuh dalam peristiwa kejam yang disebut sebagai Gerakan 30 September 1965. Janjinya untuk kembali lagi ke Ledalero tidak dapat lagi terwujud.

Sebagai sebuah tarekat misi, para anggota SVD harus memiliki kesediaan untuk berkarya di negara-negara lain sesuai kebutuhan tarekat. Ledalero tidak hanya mendidik para calon imam SVD untuk berkarya di negaranya, tetapi untuk kebutuhan serikat di seluruh dunia. Pada tahun 1982, dua orang Frater yang berkaul kekal mendapat benumming untuk menjadi misionaris di Papua New Guinea. Mereka pergi ke sana setelah ditahbiskan pada tahun 1983. Dengan ini mulailah episode ketiga, Ledalero menjadi seminari bagi seluruh dunia. 

 

Kalau pada tahun 1926 sejumlah misionaris masih meragukan entahkah orang-orang Nusa Tenggara bisa menjadi biarawan dan imam, dewasa ini anak-anak kelahiran tanah dan budaya Nusa Tenggara telah menjadi misionaris di berbagai belahan bumi. Sejak itu, seminari tinggi ini sudah mengutus lebih dari 406 orang biarawan imam misionaris untuk berkarya di 45 negara di 5 benua. Walaupun harus mengatasi tantangan bahasa dan perbedaan budaya, para misionaris SVD tamatan Ledalero umumnya mudah menemukan cara untuk mendekati umat. Mereka berkarya dalam pelayanan pastoral di paroki, menjadi guru dan pendidik atau pemimpin. Beberapa di antaranya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak warga dan umat yang miskin dan tersisih. Periode ini ditandai oleh komitmen sosial yang semakin kuat dan keterbukaan bagi misi SVD sejagad. Kehadiran semakin banyak dosen dalam berbagai bidang keahlian, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, membuat Ledalero semakin terbuka untuk menanggapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, tidak lagi dengan pendekatan pembangunan, tetapi dengan pendekatan advokasi bagi rakyat yang menjadi korban dalam proses pembangunan. 

Para dosen Ledalero bersuara mengungkapkan berbagai kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pada kesempatan seminar maupun melalui media masa. Para mahasiswa pun tidak tinggal diam. Mereka terlibat dalam beberapa aksi massa untuk membela kepentingan warga yang miskin dan tersingkirkan. Para Frater turut mendemonstrasi menentang proses hukum yang tidak adil atas diri seorang pastor di Larantuka yang dituduh mencemarkan nama baik bupati. Ketika di Manggarai 6 petani kopi ditembak mati oleh aparat, para mahasiswa dan dosen Ledalero tidak tinggal diam. Suara protes dan demonstrasi pun digalakkan untuk menentang rancangan undang-undang negara yang dinilai diskriminatif. Selain itu, keterbukaan kepada misi SVD sejagad ditumbuhkan melalui sharing para misionaris yang datang berlibur. Kisah mereka tentang kegembiraan dan duka cita, keberhasilan dan tantangan mereka, membantu memperluas wawasan dan terlebih menanamkan semangat serta menyiapkan batin mereka untuk bermisi. Dewasa ini, sekitar 2/3 Frater yang berkaul kekal mendapat penempatannya di luar negeri. Misi dalam arti proses seperti ini sebenarnya telah dimulai dan dialami di Ledalero. Sebagaimana di banyak lembaga pendidikan calon imam dan religius lainnya, proses pendidikan menjadi misionaris di seminari seperti Ledalero adalah proses saling menjernihkan dan memperkaya. Proses ini tak selalu mudah. 

Pertobatan untuk menjadi rendah hati, meluluhkan benteng keangkuhan diri tak selalu gampang. Ketulusan dan kejujuran harus selalu diperjuangkan, dan tak sedikit yang mesti membayar mahal untuknya. Selain itu, kepekaan sosial dan keberanian untuk menanggapi masalah-masalah sosial pun mendapat perhatian yang semakin penting. Orang perlu mengatasi godaan untuk tinggal dalam kenyamanan diri dan kelompok sendiri.

STFK Ledalero

Ledalero bukan hanya nama untuk seminari tinggi. Nama ini pun digunakan untuk Sekolah Tinggi Filsafat sebagai lembaga yang diakui keberadaannya oleh negara Indonesia. Sekolah ini bernama lengkap Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero). Dalam relasi dengan pemerintah Indonesia bidang pendidikan, nama lembaga inilah yang dikenal. Tentu saja, STFK Ledalero adalah perpanjangan tangan dari Seminari Tinggi Ledalero. Lembaga ini dicetuskan karena mempertimbangkan kenyataan akan perlunya pengakuan negara bagi para lulusan Ledalero. Pengakuan ini sangat diperlukan bagi para lulusan yang awam, agar mudah mendapatkan pekerjaan di luar konteks Gereja. 

 

Tetapi juga bagi para imam, yang mendapat kepercayaan dari keuskupan atau tarekat untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan, memiliki ijazah yang diakui pemerintah mendatangkan banyak kemudahan dan kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi. Saat itu ada yang mengusulkan agar diambil pendidikan Kateketik dengan gelar BA sebab dipandang lebih mudah urusannya. Yang lain menolak gagasan ini dan mempertahankan studi khusus filsafat dan teologi sebagai ciri lembaga ini. Soal lain adalah, apakah lembaga itu secara resmi diafilisasikan pada lembaga lain seperti Atma Jaya atau berdiri sendiri. Atas pertimbangan ini, maka pada tahun 1969 para pimpinan regio-regio SVD Indonesia dan para Uskup Nusa Tenggara memutuskan untuk tetap berdiri sendiri dan mempertahankan spesifikasi dalam bidang filsafat dan teologi. Masih pada tahun yang sama keputusan ini didiskusikan lebih lanjut dengan P. Musynsky, Superior General yang saat itu berkunjung ke Indonesia. Keputusan resmi dari Pemerintah Indonesia diberikan pada bulan Juni 1971. Setahun kemudian, angkatan pertama sudah membuat ujian negara BA. Berjalannya waktu membawa juga perubahan dalam kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Karena perubahan ini dan memperhatikan persyaratan yang sudah dimiliki, maka pada tahun 1981 STFK pun diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan Program Sarjana Filsafat. Peningkatan program studi ini terus diupayakan dengan menyelenggarakan program pascasarjana/magister teologi sejak tahun 2003. Pada tahun 2012 program studi ini mendapat akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. 

Mulanya mahasiswa STFK adalah calon imam SVD dan para calon imam praja dari keuskupan-keuskupan se-Nusa Tenggara serta atau mantan calon imam dari kedua kelompok tersebut. Kemudian, para calon Karmel, Trapist (OCSO), Scallabrinian, Rogationist, Vocationist, Camelian,  Stigmata, Somasca (CRS), MSSCC pun menjalani studinya di Ledalero. Demikian pun beberapa tarekat perempuan seperti SSpS dan CIJ mengutus para susternya belajar di lembaga ini. Pada tahun 1990, para calon imam praja Keuskupan Atambua, Kupang dan Sumba pindah ke Kupang. 

 

Karena penambahan jumlah biara yang mengirim para calonnya dan karena keterbukaan STFK menerima mahasiswa yang sama sekali bukan calon, termasuk perempuan, sebagai mahasiswa, maka jumlah mahasiswa tidak berkurang, malah selalu bertambah. Pada awal tahun kuliah 2012/2013 berjumlah 846 orang, yang didampingi oleh 41 orang dosen. Sebagai lembaga ilmiah yang diakui, STFK Ledalero berurusan dengan kementrian pendidikan nasional. Standar yang harus dipenuhi diturunkan oleh pemerintah. Berbagai laporan mesti dikirim ke instansi-instansi pemerintah. Secara berkala sekolah ini didatangi oleh tim yang memberikan penilaian mengenai kualitas pendidikan. Pekerjaan administrasi memang terkesan menumpuk, dan orang bisa bertanya mengenai kegunaannya. Namun, semua ini pun serentak harus dilaksanakan agar tetap diakui sebagai lembaga publik yang berhak mengeluarkan ijazah yang diakui oleh negara. STFK bersyukur bahwa sudah ada dua orang dosennya diberi gelar profesor dan sejumlah lainnya mendapat jabatan akademis pada berbagai tingkatan. Selain persoalan ijazah, pengakuan negara pun memungkinkan STFK Ledalero berada dalam jalinan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi lain. Para mahasiswa STFK semakin terlibat dalam jejaring dengan para mahasiswa dari kampus lain. Jejaring ini membantu memperluas wawasan para mahasiswa STFK Ledalero yang sehari-hari menekuni bidang teologi dan filsafat dan sejumlah ilmu penunjang. Mereka diasah untuk terlibat dalam diskursus mengenai berbagai masalah dengan rekan-rekan mahasiswa dari perguruan tinggi lain. Pengakuan negara ditunjukkan pula dengan kunjungan para pejabat negara dan tokoh nasional. Salah satu kunjungan yang meninggalkan kesan yang mendalam adalah kunjungan dari Bapak Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia pada tanggal 6 dan 7 Februari 2004. Untuk pertama kalinya seorang tokoh Islam yang disegani dan mantan Presiden Indonesia menginap semalam di Ledalero. Penampilan beliau yang buta namun mempunyai cakrawala pengetahuan yang luas dan kedalaman spiritualitas yang kaya meninggalkan kesan yang mendalam bagi seluruh civitas akademica STFK Ledalero. 

 

Gempa yang Mengubah Pola Hidup

Pada penghujung tahun 1992, nama Ledalero kembali sering didengar atau dibaca para sahabat SVD. Alasannya, pada tanggal 12 Desember jam 13.30 terjadi gempa tektonis berskala 6,8 Richter yang disusul tsunami di sebagian besar pulau Flores dan sekitarnya. 

Patahan Austronesia menimbulkan goncangan yang hebat dan gelombang pasang yang menyeret banyak warga Flores. Para penghuni Ledalero yang mulai beristirahat siang selepas makan siang, berhamburan ke luar kamar. Ledalero kehilangan dua sama saudara dalam bencana alam tersebut. Hampir semua bangunan di Seminari Ledalero hancur. 19.800 m2 dari total 39.600 m2 rusak total. Untuk sementara para penghuni Ledalero mendiami barak-barak. Karena kesulitan besar untuk mengatur makanan dan atap bagi ratusan penghuni, para frater untuk sementara dipulangkan ke rumah. Sebagiannya diberi pekerjaan untuk mendata kerusakan dan korban di berbagai pelosok Flores.

Sementara itu, bantuan cepat mengalir. Jaringan SVD sejagad sangat bermanfaat pada kesempatan ini. Pimpinan tertinggi SVD segera menggalang bantuan. Juga di dalam negeri bantuan berdatangan. Berkat uluran kebaikan berbagai pihak, perlahan kehidupan di Ledalero dimulai lagi, walau dalam bentuk yang lain. Gempa yang menghancurkan bangunan-bangunan, memaksa para penghuni Ledalero dan pimpinan SVD untuk memikirkan pola hunian dan metode pembinaan yang terbaik. Alternatif yang dimunculkan waktu itu antara lain, memindahkan rumah formasi dari Ledalero ke tempat lain yang dipandang lebih bebas dari ancaman gempa. Namun, umat yang telah membagi suka dan dukanya bersama seminari sekian puluh tahun, tidak boleh ditinggalkan sendirian. Justru ketika ancaman atas kehidupan menjadi demikian riil, kita harus memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Maka, ditetapkan bahwa seminari tidak dipindahkan, hanya dicari model yang baru. Yang dimaksudkan dengan model baru adalah pembagian para frater dalam unit-unit hunian yang lebih kecil. Para frater dibagi dalam 8 unit. Sebagian unit dapat menempati gedung yang masing-masing tersisa dari gempa, sebagian lain harus dibangun baru. Setiap unit memiliki kamar makan, dapur dan ruang doa tersendiri. Dua anggota SVD berkaul kekal tinggal di setiap unit sebagai pendamping atau prefek para frater. Dengan kesatuan tempat hunian yang lebih kecil, para frater harus lebih banyak mengambil tanggungjawab dalam mengatur hidup harian. Belanja dan sebagian tugas memasak ditangani para frater sendiri. 

 

Hal ini berlangsung beberapa tahun, kemudian dirubah lagi. Kini diterapkan kembali untuk menerapkan lagi sistem yang sama, di mana para frater sendiri mengelola uang belanja makanan dan bertugas memasak sekali dalam sehari. Tiga hari dalam seminggu dua orang Frater dari setiap unit harus bangun pagi-pagi dan berangkat ke Maumere, membeli ikan dan sayur segar yang diperlukan untuk dua hari. 

 

Gedung yang paling akhir dibangun adalah gedung-gedung kuliah dan kapela seminari. Selama 9 tahun kegiatan perkuliahan terjadi di barak-barak. Ada angkatan imam Ledalero yang menghabiskan seluruh masa studinya dalam barak-barak tersebut. Banyak pengalaman lucu dapat dikisahkan mengenai perkuliahan di tempat seperti itu. Karena dinding ruangan yang terbuat dari bambu, suara seorang dosen dapat didengar dan dimengerti lebih di berbagai ruangan, kendati di ruangan lain tersebut mereka sedang berhadapan dengan seorang dosen lain. Lelucon yang dikisahkan seorang dosen mengundang tertawa mahasiswa dari semua kelas. Situasi ini berlangsung sampai tahun 2001, ketika gedung perkuliahan STFK seluruhnya dibangun baru. Dan kapela Seminari diresmikan pada tanggal 12 Desember 2002, tepat sepuluh tahun setelah gempa. 

 

Tantangan ke Depan

Sebagai sebuah seminari besar, Ledalero menghadapi tiga tantangan utama ke depan. Pertama, mencari model pembinaan yang semakin berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi karya misi lintas batas. Keterbukaan terhadap realitas Indonesia terutama ditunjukkan dalam kepekaan sosial dan tanggapan terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat. Kesiapan untuk misi lintas batas terutama terkonsentrasi pada kesediaan serta kesiapan bekerja di tengah umat yang berbeda budaya dan bersama rekan-rekan SVD yang datang dari wilayah berlainan. Bekerja di tengah umat yang berbudaya lain memang tidak selalu gampang, dan sering lebih sulit lagi hidup dan berkarya dengan rekan-rekan sebiara dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman. Para frater pun mesti disiapkan untuk menghadapi pengalaman menggereja yang berbeda. Budaya Nusa Tenggara yang sangat menghormati para imam dapat membuat orang menjadi klerikalistis. Namun, para misionaris SVD dikirim juga ke wilayah-wilayah, di mana gerakan awam sangat kuat dan imam dihargai bukan berdasarkan status melainkan karena kualitas hidup dan kesaksian. Selain itu pembelajaran bahasa menjadi sebuah tantangan.

 

Kedua, memikirkan isi dan model pendidikan yang lebih berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi tugas misi sejagad. Keberakaran dalam konteks Indonesia ditumbuhkan dengan pendalaman akan kekayaan dan kekurangan budaya sendiri, kepekaan terhadap realitas sosial masyarakat dan ketrampilan untuk memberikan tanggapan, baik yang dalam bentuk advokasi maupun inisiatif-inisiatif pemberdayaan. Komitmen terhadap isu-isu keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan yang didukung oleh kerasulan Kitab Suci, komunikasi serta animasi misi perlu mendapat perhatian yang semakin besar. Model pendidikan pun harus terus menerus dipertimbangkan agar sesuai dengan kondisi kaum muda dalam Gereja dan masyarakat yang sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi komunikasi. 

 

Karena berbagai pengaruh itu, usia kematangan untuk mengambil keputusan yang definitif untuk seumur hidup tidak lagi sama dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu. Sebagaimana seminari-seminari lain, Ledalero pun mesti memikirkan sistem pendidikan para calon imam biarawan yang sanggup menanggapi perubahan ini. Kontribusi gagasan dari umat dan masyarakat, terutama alumni awam dan imam pasti akan sangat membantu usaha ini. Ketiga, tantangan finansial. Sebuah lembaga pendidikan para biarawan calon imam/misionaris butuh pendanaan yang besar. Sebagai seminari milik SVD, penanggungjawab utama pendanaan adalah kongregasi misi ini. Dan sumber dana terbesar yang dikelola oleh serikat-serikat religius seperti SVD adalah pemberian umat. 

 

Di banyak tempat di berbagai wilayah dunia umat memberikan derma untuk karya misi di berbagai tempat, termasuk karya pembinaan para calon misionaris. Umat yang bermurah hati itu umumnya bukan orang-orang yang hidup dalam kelimpahan. Dari kesederhanaannya mereka mempunya kesediaan untuk berbagi. Namun, dewasa ini jumlah umat seperti ini di Eropa dan Amerika semakin berkurang. Sebab itu, serikat-serikat misi seperti SVD harus mencari jalan untuk menggalang dana di dalam negeri sendiri. Untuk selanjutnya, kelangsungan pendidikan para calon imam/biarawan/misionaris di Ledalero akan semakin bergantung pada kemurahan hati umat dan warga, terutama pada alumninya. 

 

Kendati harus menghadapi berbagai tantangan ini, para penghuni Ledalero tetap dipenuhi optimisme, karena mereka tidak sendirian. Sudah sepanjang 75 tahun Tuhan memancarkan sinar kasih-Nya atas bukit ini, melalui komitmen dan kerelaan berkorban para misionaris perintis, para penghuni, umat dan warga, pemerintah serta alumni. Diimani, Tuhan yang sama akan tetap menyatakan kesetiaan-Nya dan menggerakkan banyak orang untuk terus berjalan bersama Ledalero. 

 

Atau, dalam bahasa John Dami Mukese dalam puisi menyongsong 70 Tahun Ledalero, "setia menapak Jalan Mentari/dalam ziarah tak berakhir."

 

P. Paul Budi Kleden, SVD

bottom of page