top of page

MENGABDI DALAM KEGEMBIRAAN

“Dulu teman-teman seangkatan menjuluki saya sebagai tukang tidur. Saya tak mempersoalkan bakat alam ini dan malah mensyukurinya sebagai anugerah. Justru karena dengan bakat ini, saya bisa bertahan jadi imam sampai sekarang” (P. Yan Hambur, SVD – pada kesempatan sharing komunitas di Kapel Agung Ledalero, 7 September 2015)

Yohanes Hambur (Yan) dilahirkan pada 24 November 1941 di Bambor, sebuah kampung kecil di Manggarai Barat. Yan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara (5 perempuan dan 3 laki-laki), buah cinta dari pasangan Bapak Gregorius Ngatam dan Mama Ambrosia Alam. Yan dilahirkan dari keluarga Katolik saleh yang amat sederhana. Kesalehan ini salah satunya tampak dari penghayatan hidup rohani yang anggun dari kedua orang tuanya dan kesetiaan mereka menghadiri perayaan-perayaan liturgi dalam gereja, juga dalam kesetiaan menjalankan amanat paroki. Seperti halnya anak-anak lain di kampungnya kala itu, Yan kecil juga mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Panggilan dan penghayatan hidup sebagai seorang biarawan-misionaris SVD, sejak masih frater hingga saat ini, mamiliki hubungan yang sangat erat dengan kebiasaan yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil. Ada banyak hal menarik yang dapat kita temukan jika kita menelusuri dengan saksama perjalanan panggilan hidup dari P. Yan Hambur, SVD. Keinginannya untuk menjadi imam dimotivasi oleh seorang pastor misonaris berkulit hitam. Perjumpaannya dengan sang misionaris ini terjadi pada saat perayaan pesta perak Paroki Rekas. Pesta, yang untuk dapat menghadirinya, Yan kecil bersama kedua orang tuanya harus berjalan melalui jalan tikus sejauh 14 KM dari rumahnya. Waktu itu, Yan baru kelas II Sekolah Rakyat. Ia begitu tertarik melihat sang misonaris yang begitu berwibawa dan penampilannya sangat sederhana. Perjumpaan pertama begitu menggoda dan membekas di hatinya. Sejak saat itu mulai tumbuh ketertarikan dalam diri Yan kecil untuk menjadi seorang imam. Tanpa ada pemaksaan dari siapapun, ketika menyelesaikan pendidikan sekolah rakyatnya, Yan memutuskan untuk masuk seminari. Ia kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama di Seminari Kisol pada tahun 1956. Angkatan mereka adalah angkatan kedua Seminari Kisol dengan jumlah siswa sebanyak 37 orang. Dari jumlah itu hanya tiga orang yang kemudian menjadi imam dan satu orang menjadi Bruder. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama tiga tahun di SMP Seminari Kisol, Yan kemudian melanjudkan pendidikannya di SMA Seminari Matalako selama empat tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, Ia kemudian melamar pada Serikat Sabda Allah, dan melanjudkan jenjang formasi dasar pada Novisiat Ledalero selama dua tahun, (1963-1965). Setelah masa novisiat ia kemudian belajar Filsafat di Ledalero selama dua tahun, dan studi Teologi selama empat tahun. Pergulatan dalam belantara dunia filsafat dan teologi, kadang sendiri, kadang bersama dengan teman-teman dan perjumpaan dengan pembina yang berbeda watak dan karakter, memberikan warna tersendiri bagi pengalaman perjalanan panggilan Yan. Menjadi seorang imam, bagi Yan, adalah adalah sebuah impian; impian yang menuntut perjuangan dan pengorbanan. Pengorbanan, dalam ziarah panjang menjadi seorang imam, sungguh disadari Yan, bukanlah kisah pengorbanan tunggal, yakni pengorbanan dari diri sendiri semata. Pengorbanan orang lain perlu juga diperhatikan, maka dari itu terhadap pengorbanan-pengorbanan itu perlu diberi harga. Semua bentuk pengorbanan tersebut perlu diblas dan dibayar mahal oleh seorang Imam atau calon imam. Bentuk pembayaran yang paling utama adalah menghayati panggilan secara sungguh-sungguh. Pater Yan sungguh menyadari dan menghayati hal ini. Setelah menempuh perjalanan ziarah yang panjang dengan aneka pengalaman yang memberi warna pada tapak-tapak ziarah itu, Yan akhirnya ditahbiskan menjadi imam pada 11 Juli 1971. Momen tahbisan ini sungguh-sungguh disyukuri oleh Pater Yan. Mimpi masa kecilnya, yang lahir dari perjumpaan dengan misionaris itu, akhirnya menjadi kenyataan. Sebagai seorang misionaris Tuhan, Pater Yan lebih banyak berkarya di beberapa paroki di wilayah Keuskupan Agung Ende. Akhir tahun 1971 hingga akhir tahun 1974 Pater Yan berkarya di Paroki Katedral Ende. Setelah mengabdi selama tiga tahun, beliau dipindahkan ke Paroki Kombandaru. Di Paroki Kombandaru, ia membantu di sebuah titik pelayanan di bagian utara paroki. Karena keadaan memungkinkan untuk membuka sebuah paroki baru, Pater Yan kemudian berjuang untuk menjadikan titik pelayanan itu sebagai sebuah paroki tersendiri. Perjuangan ini kemudian disambut baik oleh Uskup Agung Ende kala itu. Atas usaha tak kenal lelah dari Pater Yan dan berkat restu dari Bapa Uskup, terbentuklah sebuah paroki baru di Keuskupan Agung Ende yang diberi nama Paroki Santo Vinsensius a Paulo Ratesuba. Pater Yan kemudian berkarya di paroki baru ini selama 12 tahun (1975-1987). Setelah berkarya selama 12 tahun di Ratesuba, Pater Yan kemudian dipindahkan ke Paroki Detusoko Ende. Ia berkarya di sana selama 11 tahun (1987-1998). Setelah mengabdi di Detusoko, Pater Yan dipindahkan lagi ke Paroki Wolowaru. Pater Yan mengabdi di Wolowaru selama 13 tahun (1998-2011). Setelah itu beliau dipindahkan ke Biara Simeon Ledalero dan menghabiskan masa pensiunnya di rumah ini. Selama berada di Biara Simeon, Pater Yan mengisi waktu luangnya dengan membuat rosario. Ia juga diminta menjadi bapa rohani bagi para frater muda. Sebagai imam senior yang telah memliki banyak pengalaman, Pater Yan adalah contoh yang baik tentang kesetiaan menjalani panggilan hidup dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas pelayanan yang diembankan serikat. Ia adalah teladan istimewa. Pater Yan tak pernah pelit untuk membagi pengalaman hidup dan karyanya kepada siapa saja yang ingin mengikuti pilihannya menjadi imam Tuhan. Ketika ditanya oleh tim Wisma terkait hal apa yang menopang kesetiaannya dalam menghayati panggilannya secara total, Pater Yan dengan tegas menjawab karena ia ingin memberi diri dan melayani orang yang dipercayakan kepadanya untuk ia layani. Semangat pelayanan yang sungguh berakar ini, memang tak pernah terlepas dari teladan yang telah dicontohkan oleh kedua orangtuanya ketika ia masih kecil dulu. Pater Yan mengatakan semangat pelayanan dan kesetiaannya dalam imamat juga lahir dari kesadarannya bahwa menjadi imam itu pilihan. Ia tidak menjadi imam karena dipaksa oleh pihak manapun. Ia memilih menjadi imam karena ia ingin melayani dan memberi diri kepada semua orang yang dipercayakan kepadanya. Sebagai seorang imam, doa mendapat tempat yang utama dalam hidup Pater yan. Menurutnya doa adalah sumber kekuatan. Sungguh suatu kebohongan besar jika seorang imam hidup tanpa doa. Tidak mungkin seorang imam dapat bertahan dalam imamat tanpa menempatkan doa pada tempat utama. Doa juga menjadi alasan Pater Yan Hambur, SVD bertahan dalam imamatnya. Doa sebagai kebajikan utama sangat tampak dalam diri Pater Yan, bahkan disaat masa tuanya. Memang selama tinggal di Biara Simeon Ledalero, tidak begitu banyak aktivitas yang dapat dilakukan jika dibandingkan dengan masa mudanya. Namun usia yang tua tidak menjadikan semangat doanya turut menjadi tua, tetapi justru sebaliknya. Semakin tua usia, semangat doa harus semakin segar

77 views0 comments
bottom of page