*Gabriel Adur, SVD
Saya datang ke Jerman sebagai Mahasiswa akhir tahun 2005. Awal tahun 2006 sebenarnya harus mengambil kursus bahasa Jerman reguler. Namun karena saya mengalami gangguan paru-paru hebat, akhirnya saya harus istirahat total sampai bulan Juni 2006.
Awal bulan Juli saya harus menjalankan operasi paru-paru. Setalah menjalani operasi paru-paru saya istirahat sampai akhir bulan Agustus.
Satu semester untuk belajar bahasa terlewatkan. Namun rencana Tuhan memang indah. Guru bahasa Jerman menganjurkan untuk otodidak karena menurut beliau saya bisa belajar bahasa secara autodidak.
Didampingi Pater Paul Raabe sebagai Rektor Rumah saya pun dibimbing untuk mandiri mempelajari struktur bahasa Jerman. Pertengahan September 2006 sampai Februar 2007 saya bisa mengambil kursus bahasa Jerman reguler untuk mengambil Sertifikat Bahasa untuk Perguruan Tinggi.
Setelah lulus ujian bahasa dengan baik saya memulai masa perkuliahan awal musim panas 2007 dan tepat mengakhiri masa studi bulan Juli 2010.
Butuh Kecerdasan Berpastoral
Bulan Oktober 2010, saya ditahbiskan Diakon di Seminari Tinggi SVD Sankt Augustin. Setelah tahbisan Diakon, saya menjalani masa praktik sebagai Diakon di Paroki Santo Mikael Mering, Keuskupan Augsburg yang berjarak 509 Km dari Sankt Augustin.
Masa Diakon bagiku adalah saat yang tepat untuk membumikan Filsafat dan Teologi dalam praksis hidup nyata dalam kehidupan berpastoral. Selain itu juga merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan: apakah saya bisa bekerja sebagai pastor di Paroki atau lebih ke pastoral ilmiah (di lembaga-lembaga).
Setelah delapan bulan menjalankan praktik diakonat di Paroki saya pun ditahbiskan menjadi imam pada 19 Juni 2011 di Sankt Augustin. Setelah tahbisan, saya kembali ke paroki yang sama. Tidak seperti konfrater lain setelah tahbisan pindah paroki. Saya bersyukur karena di paroki, saya menangani pastoral kategorial anak-anak mudah dan pastoral keluarga.
Di paroki ini, saya belajar untuk memahami kekayaan-kekayaan spiritualitas umat dan kerinduan umat yang membutuhkan kehadiran seorang pastor yang memiliki kepekaan budi dan hati untuk mendengarkan mereka.
Di paroki pertama ini saya bisa mengenal kemampuan sebagai pastor yang bisa melayani umat di Paroki. Dengan kepekaan akan kemampuan berpastoral saya pun mengambil pendidikan pastoral selama 3 tahun untuk mengambil ujian sertifikasi menjadi pastor paroki. (Catatan: untuk menjadi pastor paroki di Jerman harus mengikuti pendidikan khusus kemudian diuji untuk mendapat sertifikat).
Setelah dua tahun di Keuskupan Augsburg, saya ditempatkan sebagai pastor kapelan di Paroki SVD di pinggiran kota Muenchen ( 2012 -2015 ). Pengalaman menarik selama bekerja di Muenchen adalah selain menjalankan pastoral sakramental di paroki, saya mengambil pastoral kategorial mendampingi saudara-saudari dari Afrika yang datang ke Jerman sebagai pengungsi.
Bersama dengan umat dan Team Caritas dari Paroki, saya mendampingi mereka juga sebagai sesama rantau di negeri orang. Bersama dengan Team Caritas dari Keuskupan dan Satu Biara Susteran saya juga ikut menangani orang-orang gelandangan di Muenchen.
Pengalaman-pengalaman praktis ini memacu saya untuk secara cerdas menyatukan kekuatan kognitif dan emosional yang berdampingan dengan kekuatan spiritual untuk menjadi gembala umat yang punya keberpihakan, waktu dan kerendahan hati berada bersama umat.
Perpaduan antara pastoral kehadiran, pastoral keterlibatan bersama umat dan kecerdasan berorganisasi dalam team work sangat dituntut dari seorang imam dalam konteks dan perkembangan gereja Jerman.
Pertemuan antara refleksi filosofis dan teologis-biblis dengan kenyataan dan konteks kehidupan umat memacu saya untuk disiplin dan bekerja keras diimbangi dengan hidup doa yang menjadi basis kuat dalam menghidupkan spiritualitas hidup harian bersama umat.
Berat memang meninggalkan umat, sahabat, kenalan dan München ketika akhir September 2015 Rumah Induk Steyl memanggil. Sebelum ke Belanda saya menyelesaikan ujian untuk menjadi pastor paroki.
Steyl – Belanda, sebuah tantangan yang menarik. Saya juga bergembira karena saya sudah bisa berbahasa Belanda. Rumah induk sebagai rumah pertemuan konfrater dan para suster dari berbagai benua dan juga menjadi pusat spiritualitas serikat.
Di sini, saya bisa mengaktifkan kemampuan berbahasa asing sebagai tuan rumah untuk menerima dan melayani konfrater, para suster atau tamu-tamu yang mengunjungi rumah induk. Selain bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, bahasa Spanyol sering dipakai di rumah induk karena ada konfrater yang berasal dari negara-negara Latin Amerika.
Kembali ke Paroki
Setelah dua tahun di Steyl-Belanda saya mendapat tugas baru sebagai Pastor Vikar di Keuskupan Muenchen (2017 sampai sekarang). Saya dan Pastor Paroki menangani dua paroki besar yang dulunya delapan paroki.
Di paroki ini saya kembali bergabung dengan team caritas untuk menangani para pengungsi sebagai bagian dari pastoral kategorial dan keberpihakan Gereja untuk orang-orang miskin.
Sebuah Refleksi
Berdasarkan pengalaman misi di paroki saya bisa mengatakan bahwa untuk menjadi misionaris yang baik perlu kemampuan bahasa yang baik. Bukan hanya berbahasa ilmiah tetapi juga bahasa harian umat. Bahasa membuka pintu hati umat. Tak ada kata tua untuk mempelajari bahasa-bahasa asing.
Sekularisasi Eropa dan Jerman juga menjadi tantangan besar untuk menjadi misionaris di Jerman. Namun, orang-orang Jerman membutuhkan imam-imam yang memiliki kredibilitas dan autensitas diri yang baik dalam berpastoral.
Kita meski siap berdialog terutama dengan umat yang hidup dengan prinsip: Kristus saja, Gereja tidak; atau dengan orang-orang yang menyebut dirinya kelompok ateis. Selamat datang ke Jerman. Gereja- Gereja Jerman tidak hanya membutuhkan imam-imam yang baik, tetapi imam-imam yang cerdas dan memiliki kualitas kerendahan hati yang baik pula.
Renungan Harian Katolik