Pater Agust Alfons Duka, SVD
September 2016, segenap anggota komunitas Seminari Tinggi St Paulus Ledalero berbahagia bersama salah satu konfrater yang merayakan perak imamat. Sang jubilaris yang sekarang tinggal di Candraditya-Maumere itu bernama Pater Agust Alfons Duka, SVD. Pria yang pernah bekerja sebagai Anggota Lembaga Sensor Film ini dilahirkan di Alor, 2 Agustus 1964.
Benih panggilan untuk menjadi misionaris bersemi saat berada di Seminari San Dominggo Hokeng (1979-1983). Setelah menyelesaikan pendidikannya di seminari menengah, beliau masuk Novisiat Ledalero (1984-1985). Selanjutnya beliau menyelesaikan studi filsafat pada STFK Ledalero selama empat tahun (1985-1989). Sebelum mengikrarkan kaul kekal pada bulan Agustus 1990, beliau menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Mataloko.
Sebagai biarawan misionaris, kita tentu tidak hanya berdiam dan bertugas pada satu tempat saja. Biarawan Misonaris sejati itu adalah pribadi yang berani berkarya di beberapa tempat berbeda dengan pluralitas kultural. Pater Agust Duka, SVD segera ditugaskan di Sao Paulo-Brasil setelah ditahbiskan di Nenuk, pada 29 September 1991 (1992-2000). Di Brasil, Pater Agus, sebagaimana disapa, tidak hanya berkarya membangun iman umat, tetapi juga masuk Fakultas di Universidade Metodista de San Bernardo do Campo, Sao Paulo-Brasil dengan mengambil jurusan Komunikasi atas instruksi Provinsial Brasil (1997-2000).
Beberapa tahun setelah menyelesaikan Studi, Pater Agus dipanggil kembali ke Indonesia, ke Provinsi Ende oleh Provinsial Ende. Di Ende, misionaris yang pernah kursus musim dingin Misiologi di Nemi-Roma ini menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian (2002-2006). Pengabdiannya dalam dunia jurnalistik berjalan selama empat tahun.
Setelah itu, Pater Agus beralih ke medan baru, yakni menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi KWI-Jakarta (2007-2014). Di kota metropolitan ini, Pater Agus juga bergulat dengan banyak tugas lain yang dipercayakan kepadanya seperti Dosen Teologi Komunikasi pada sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara-Jakarta, menjadi Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, dan Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi Departemen Agama Republik Indonesia.
Sebelum dipanggil kembali ke Provinsi Ende, pada tahun 2015, Pater Agus menjalani kursus Bahasa Korea dan Tahun Sabbatical di Bidang Pastoral Migran dan Itineray People di Seoul-Korea Selatan. Kini, beliau mengabdikan diri dalam Divisi Migran pada Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan SVD Maumere Flores, sembari mengajar Ilmu Komunikasi pada STFK Ledalero (2016-sekarang).
Pengalaman Yubilaris Selama Berkarya
Bagi Pater Agus, perjalanan panjang panggilannya hingga mencapai usia perak pada tahun 2016 diwarnai oleh pengalaman yang menyenangkan dan membahagiakan. Pengalaman bahagia yang serentak meneguhkan panggilannya adalah ketika menjadi misionaris di Sao Paulo-Brasil. Pada masa karyanya, Teologi Pembebasan yang dipelopori Leonardo Boff dan sebagian besar imam juga awam, sangat menjiwai karya pewartaan Sabda Allah kepada umat. Sasaran pewartaan pada saat itu sangat jelas, yaitu kaum pinggiran. Bagi dia, ada kebahagiaan tersendiri ketika berada dan berkarya di tengah kaum pinggiran. Keberadaan Yesus baginya saat itu terpatri megah dalam diri orang-orang yang dilayaninya.
Sebagaimana manusia yang pada kodratnya tidak sempurna, tentu beliau tidak mengalami pengalaman bahagia dan menyenangkan secara total. Pengalaman menantang tentu tak terhindar dari perjalanan imamatnya. Beliau mengemukakan bahwa pengalaman paling menantang dan yang membuatnya merasa tidak aman adalah ketika menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian. Kala itu menguak pro dan kontra dalam tubuh PT. Ani yang membawahi Flores Pos, Dian dan majalah anak Kunang-Kunang.
Tantangan kembali menyusul mantan dosen Teologi Komunikasi di Driyakara ini ketika berada dan bertugas di KWI, Jakarta. Di sana beliau bertemu banyak orang dengan pluritas kultural. Beliau merasa kurang aman karena masih ada orang di sekitar tempat kerjanya yang masih memiliki pandangan, perspektif diskriminatif terhadap orang dari luar Pulau Jawa. Ditambah lagi dengan situasi Jakarta yang dihuni oleh orang-orang yang bercorak pikir dan bergaya hidup metropolitan. Kepandaian dan eksistensi sebagai imam serentak digugat dengan situasi seperti itu.
Meskipun demikian, situasi menantang ini tidak membuat putra kelahiran Alor ini jenuh dengan panggilan. Rasa jenuh baginya hanya muncul ketika seseorang tidak kreatif. Situasi menantang itu juga tidak membuatnya jauh dari Tuhan. Malahan baginya, tantangan mendesaknya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas yang menantang tidak memadamkan kobaran semangatnya untuk tetap menjadi pelayan Tuhan. Di balik kerapuhannya sebagai manusia, ia memunyai seberkas cahaya kekuatan yang senantiasa menuntun dan menguatkan langkah kakinya di tapak-tapak perjalanan panggilannya sebagai imam. Kekuatan itu adalah kesadaran akan kerapuhan diri. Pandangan ini terinspirasi dari moto tahbisan; “Yang Ada Padaku Cuma Ini”. Moto inspiratif ini diambil dari jawaban murid Yesus, ketika Dia hendak memberi makan lima ribu orang. “Cuma Ini” merupakan reduksi dari “Lima Roti”. Baginya, jawaban murid Yesus, “Yang Ada Pada Kami Hanya Lima Roti” menggambarkan kesadaran akan kerapuhan. Karena itu, lagi-lagi baginya “kekuatan itu lahir dari kesadaran akan kerapuhan”.
Berkat kekuatan yang lahir dari moto tahbisannya ini, Pater Agus dapat melangkah dengan pasti meraih perak imamat. Sadar akan kekuatan yang mengalir dari percikan rahmat Tuhan, beliau pun memaknai usia perak dengan satu kata yakni, “syukur”.
Sebagai yubilaris dan misionaris senior, penting bagi beliau untuk membagikan pengalaman petualangan imamatnya kepada misionaris muda. Pengalaman-pengalaman konstruktif itu direduksi dalam bentuk penilaian dan wejangan bagi konfrater muda. Karena itu, biarawan misionaris yang pernah menjadi Ketua Umum Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada tahun 2010 ini menyampaikan bahwa para konfrater muda harus mampu mengimbangi perkembangan yang ada sekarang. Sebab baginya, masyarakat yang kita hadapi sekarang bukanlah masyarakat agraris dengan pola hidup sekuensial. Kini, kita akan berada di tengah masyarakat era digital, masyarakat yang pintar, tidak tertinggal dari aneka informasi. Karena itu perlu bagi para konfrater muda untuk memiliki mentalitas metropolitan karena desa kita telah membuana (global village). Dalam arti hidup selaras zaman agar dapat connect dengan realitas yang ada.