top of page

Menjangkau yang Tak Terpahami


“Pembicaraannya terkadang tak ada hulu-hilirnya. Begitu juga diksi dan struktur kalimat yang digunakannya. Tetapi ia tak peduli, termasuk pada apa kata orang tentangnya. Ia menganggap dirinya normal, bahkan dipilih Tuhan untuk memerangi masalah korupsi di kota Maumere.”


Demikian Yustina Nurak, seorang wanita paruh baya, yang sudah cukup lama mendapatkan pelayanan dari Frater Vitalis Nasrudin, SVD bersama teman-temannya dari Wisma St. Agustinus Seminari Tinggi Ledalero.

Mama Yus, demikian Yustina Nurak biasa disapa, mempunyai lima orang anak, namun kini hanya tinggal bersama salah seorang putrinya. Keempat anak lainnya sedang megadu nasib di Pulau Jawa. Suaminya pun telah lama meninggalkannya entah karena alasan apa. Ia kini tinggal bersama putrinya, Quin, yang sedang menderita gangguan jiwa tingkat kronis.

Keduanya menghuni sebuah bangunan yang tampak telah uzur dimakan usia, di daerah Weruoret, Nita, Maumere. Rumah itu, seakan mencari topangan pengokoh, bersandar lekat pada salah satu sisi pagar tembok biara Karmel. Dinding-dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu tampak telah terkoyak. Dari kejauhan, wujud rumah itu tiada bedanya dari setumpuk material tak tertata. Hanya keberadaan Mama Yus dan Quin, serta sejumlah perabotan dan benda rohani yang membuat bangunan itu layak disebut rumah.

“Kami beli rumah ini dari seorang tuan tanah. Tapi, tuan tanah itu ternyata bukan pemilik yang sesungguhnya. Setelah kami bayar, tuan tanahnya datang dan minta lagi uang pada kami, tanpa peduli bahwa kami sudah ditipu. Jadi, kami bayar lagi,” kisah Mama Yus suatu sore.

***

Mama Yus pernah bekerja sebagai cleaning service di STFK Ledalero. Ia mulai bekerja pada tahun 2011. Namun, dua tahun kemudian, ia diminta untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya karena alasan tertentu. Sejak saat itu, ia harus bekerja serabutan untuk menafkahi hidupnya dan Quin.

Pada awal tahun 2015, kondisi mental Mama Yus mulai terganggu. Ia yang dikenal tidak terlalu banyak bicara, kini mulai menjadi seorang wanita yang hampir tak pernah berhenti bicara. Bahkan, ia mengaku pernah bertemu Tuhan Yesus, dan pengalaman perjumpaan itu mendesaknya untuk terus “berkhotbah”. Tak peduli dengan komentar banyak orang, ia menganggap dirinya sebagai orang yang normal, meskipun pembicaraannya terkadang tak ada hulu-hilirnya. Begitu juga diksi dan struktur kalimat yang digunakannya. Namun demikian, terkadang Mama Yus juga bisa berpikir dan bertindak waras, bahkan sangat ramah. Ia bisa terlibat aktif dan serius berbicara tentang topik-topik berat seputar agama. Hingga saat ini, ia masih bekerja sendiri untuk memenuhi nafkah hidupnya dan putrinya yang telah lama mengalami gangguan jiwa. Ia mengaku menjual pakaian-pakaian bekas yang dikumpulkan Frater Vitalis Nasrudin dan teman-temannya, selain menjual ramuan obat-obatan dan jamu dalam kemasan, yang dibuat dari ekstrak bunga-bungaan dan beberapa jenis buah-buahan. “Semua obat ini saya buat sendiri dari bunga-bunga dan tanaman obat di taman depan,” katanya. Semuanya tersimpan rapi di dalam sebuah lemari kayu sambil menanti para pembeli yang tak pernah kunjung datang. “Minyak ini bisa menyembuhkan kanker, tumor, demam dan lain-lain,” lanjutnya sambil memperlihatkan sebotol minyak berwarna kuning di kediamannya, Sabtu (16/9/ 2017). Meski sibuk bekerja mencari nafkah, Mama Yus selalu menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Tuhan di bilik doanya. Sambil menyelami keheningan, ia berkomat-kamit melafalkan berbaris-baris doa. Di sudut itu, rapalan doa mengalun lembut dari tingkah bibirnya yang tak kunjung rihat. Memang tak ada seorang pun yang memahami apa yang ia lafalkan. Atau bahkan menganggapnya sekadar mengoceh Tuhan dengan kombinasi kata-kata yang kurang jelas terartikulasikan. Namun, rutinitas Mama Yus yang selalu mencari Tuhan di sudut salah satu ruang huniannya itu bisa mengguyur setiap orang waras dengan rasa malu yang tak terkira. Di sudut bilik doa itu, potret-potret Yesus, miniatur salib dan beberapa asesori rohani tergolek tenang di atas sebuah meja bertaplak biru langit. Di tempat itulah Mama Yus selalu mencakapkan nasib hidupnya yang penuh derita bersama Tuhan. Di sudut ruang itulah Mama Yus, dengan kepala berkerudung, memohon kebaikan Tuhan bersama putrinya. “Jangan keliru dengan penampilan saya. Saya Katolik tulen, meskipun mengenakan kerudung. Bunda Maria sendiri datang pada saya dan menyuruh saya mengenakan ini,” kata Mama Yus sambil menunjuk sebuah jilbab yang sedang dipakainya.

Menjadi Pewarta

Rutinitas lain dari Mama Yus adalah menjadi “pewarta”. Setiap hari, sejak mentari mulai menyembul di ufuk timur, Mama Yus sudah bersiap-siap untuk pergi “mewartakan” firman Tuhan. Ia beranjak dari rumah setelah sarapan seadanya bersama Quin, putrinya. Ia bertolak ke medan misi, layaknya seorang misionaris. Ia menghabiskan waktunya seharian untuk berkunjung dari rumah ke rumah. “Tidak perlu harus kenal orangnya. Yang penting kita wartakan firman kepada siapa saja,” katanya. Menurut Frater Nasrudin, gagasan fundamental seputar kekristenan, seperti Maria, konsep keselamatan universal, penebusan, dan pewahyuan sering kali terlontar dalam khotbah-khotbah keliling Mama Yus. Tak ada yang tahu dari mana dia mendapatkan semua pengetahuan itu. Terkadang pesan yang ia sampaikan sarat kebenaran, tetapi terkadang pula tak lebih dari sekadar monolog seorang penderita gangguan mental. Apalagi pemilihan diksi dan penalaran yang bebas logika menyulitkan orang untuk memahaminya. “Delapan puluh persen dari apa yang dikatakan Mama Yus, menurut saya, benar,” tegas Frater Nasrudin. Selain itu, khotbah-khotbahnya juga tak jarang menyoroti masalah sosial-politik, terutama masalah korupsi. “Saya sering datang ke rumah-rumah para pejabat pemerintah. Saya menasihati mereka untuk tidak korupsi atau menipu rakyat kecil seperti kami,” kata Mama Yus. Aksi “kenabian” Mama Yus, jelas Frater Nasrudin, mendapatkan tanggapan yang bervariasi. Ada yang bersimpati, bahkan merasa tersentuh oleh “khotbah-khotbahnya”, tetapi tak sedikit pula yang geram dan menghalaunya pergi karena merasa terusik. “Sangat sering Mama Yus menceritakan pengalaman misinya ini kepada saya. Ia mengaku kadang ditolak, tetapi kadang diterima. Bahkan ada yang berempati dan mencoba memberinya makanan. Namun, bantuan itu selalu ditolaknya, karena ia tahu dirinya dikasihani karena dianggap gila. Ia tak suka dianggap gila,” jelas Vilan, demikian Frater Nasrudin akrab disapa.

***

Demi Firman Tuhan, tak sehari pun dilewatkan Mama Yus tanpa bertandang ke rumah-rumah para pejabat di seputaran kota Maumere. Ia garang melawan korupsi dan lantang menyerukan pertobatan. Dan dengan sedikit sisa kewarasannya, ia memaknai tindakannya itu sebagai ganti kealpaan para imam yang lebih suka menikmati kenyamanan di menara gading mereka. “Banyak Imam lebih suka berkhotbah di mimbar, daripada turun ke tengah masyarakat,” kata mama lima anak itu.*


52 views0 comments
bottom of page