top of page

Bahasa Puisi, Kesepian Rendra, dan Kesendirian Kita

Oleh Edy Soge



Saya membagi pokok pembahasan ini dalam 3 (tiga) bagian. Pertama, saya membahas tentang bahasa puisi. Kedua, tentang kesepian rendra dalam puisi karyanya, Kangen. Ketiga, tentang kesendirian (kita) orang yang terpanggil sebagai kesendirian yang kreatif dan produktif.


I. Bahasa Puisi


Keberadaan manusia di dalam dunia merupakan suatu fakta lingual. Tak bisa dielak bahwa manusia hidup dalam dan melalui bahasa. Martin Heidegger menyatakan bahwa bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins) dan manusia bermukim di dalamnya. Penyair dan pemikir adalah penjaga rumah Ada ini.[1]


Dalam satu teks kuliahnya yang berjudul Membangun Rumah Berpikir, Heidegger menulis, “adalah bahasa yang telah memberitahu kita esensi segala sesuatu, tumbuh berkembang agar kita menghargai esensi dari bahasa itu sendiri… Di antara semua tuntutan manusia yang dapat disuarakan, bahasa tetap menjadi alat yang pertama dan utama”.[2]


Manusia berpikir dan mengucapkan pikirannya lewat bahasa. Totalitas proposisi adalah bahasa (4.001).[3] Manusia adalah zoon logon echon – mahkluk yang berbudi bahasa (terjemahan Dr. Leo Kleden), sanggup bercerita dengan bahasa. Karena itu, bahasa merupakan produk manusia yang paling besar.[4]


Manusia dalam segala bentuk kreativitasnya hanya bisa dimungkinkan oleh bahasa. Kenyataan manusia adalah kenyataan bahasa. Bahasa bersifat dinamis mengikuti alur zaman dalam konteks hidup generasi manusia dalam sejarah. Bahasa berubah dari waktu ke waktu dan memiliki ragam tertentu beradasarkan subjek pengguna bahasa.


Generasi tua memiliki kosa kata yang khas dalam percakapan mereka dan generasi milenial memilik gaya bahasa sendiri. Begitu juga dunia hewan, tumbuhan, dunia kesehatan, dan kedokteran memiliki ciri khas terminologi bahasanya sendiri. Bahasa memiliki faktor luar bahasa[5] dan memiliki unsur simbol, objek, referensi, dan subjek[6].


Pada kesempatan ini saya berbicara tentang bahasa puisi. Bahasa puisi adalah bahasa artistik penyair. Penyair adalah seniman yang memiiliki bahasa yang khas. Bahasa yang ia ciptakan tidak dipungut dari tutur kata keseharian, tetapi dari kedalaman cita rasa afeksional. Bahasa puisi adalah bahasa hati seorang penyair.[7]


Penyair dalam proses kreatifnya berjuang mengembangkan bahasa. Ia ‘menemui’ bahasa dan sekaligus ‘menemukan’ bahasa.[8] Penyair hidup dalam konteks dengan bahasanya sendiri dan akrab dengan bahasa komunikasi keseharian.


Namun ketika menulis sajak, penyair menemukan bahasa dari bahasa keseharian itu karena bahasa puisi yang ia ciptakan lahir dari kedalaman refleksi pengalaman dan mengambil bentuk estetis dalam karya tulis sastra. Proses kreatif penyair adalah konstruksi dan rekonstruksi bahasa.


Menulis puisi berarti menciptakan gaya bahasa, mengembangkan kosa kata, dan memproduksi makna. Karena itu, tidak salah jika Heidegger menyebut penyair adalah orang yang menjaga dan merawat bahasa. Bahasa di dalam kerja kreatif penyair mendapat arti dan perkembangan yang signifikan.


Kita bisa bertanya, apakah bahasa puisi adalah otonomi partikular milik penyair saja. Saya pikir tidak. Secara praktis, ia khusus sebagai bahasa penyair yang dipakai waktu menulis puisi. Namun secara ontologis bahasa puisi adalah bahasa semua manusia yang memiliki hati, perasaan, empati, dan cita rasa kemanusian.


Bahasa puisi tidak pernah partikular eksklusif, tetapi universal, melintas batas ruang dan waktu, menyapa semua hati yang peka pada aksara sastra (puisi). Manusia memiliki potensi puitik di dalam dirinya. Manusia memiliki motivasi dan kehendak estetis. Hoelderlin menulis, “Poetically dwells human being upon this earth”. Kita hidup di atas bumi ini secara puitik. Hidup dengan cita rasa keindahan dan harmoni.


Puisi memberikan kepenuhan keberadaan. Heidegger menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dan melimpahi dan meneguhkan kesadaran.


Penyair adalah subjek dari suatu konteks yang sungguh sadar akan hidupnya. Suasana hatinya selalu peka akan situasi bahkan sering diliputi kemurungan, kegelisahan, dan kecemasan. Penyair selalu merasa diri tidak tentram. Hidup dari kesunyian ke kesunyian yang lain. Di dalam kesunyian itu ia merasa bersatu dengan yang lain bahkan dunia dalam dirinya dan dunia di luar dirinya bersatu.[9]


Penyair tidak pernah menulis hanya tentang dirinya. Ia adalah bagian dari dunia dan puisi yang dilahirkannya adalah sebuah riwayat hidup bersama dalam dunia. Meskipun puisi lirik sekalipun yang mengungkapkan pengalaman personal, tetap selalu dalam korelasi dengan yang lain. Puisi adalah bahasa penyair tentang kehidupan.


Bahasa puisi memiliki karakteristik sendiri dengan ragam bahasa yang lain. Bahasa puisi tidak normatif (non-ilmiah), apalagi ideologis. Ia kaya akan makna dan interpretasi karena mengandung polisemi, konotasi, simbol, metafora. Bahasa puisi bersifat stilistik (kaya akan gaya bahasa). Kekhasan ini menghantar pembaca kepada arti yang mendalam tentang apa yang terucap dalam puisi.


Puisi menjadi semacam jembatan teleologis yang menghantar subjek pembaca kepada suatu tujuan yang lebih tinggi, yaitu katarsis. Bahasa puisi adalah bahasa yang memiliki daya purifikasi, tetapi juga sensasional sehingga selain merasa tenang karena batin dibersihkan, pembaca juga bisa hanyut ketika membaca sebuah puisi yang menyentuh hatinya.


Bahasa puisi adalah bahasa hati penyair tentang kehidupan yang mampu menghantar pembaca sampai pada dunia makna, dan orang yang hidup dalam makna artinya hidup di atas validitas yang lengkap, yakni validitas akal sehat, estetis, etik, dan religius (Paul Tillich).


II. Membaca Kesepian Rendra


Kesepian dan kesendirian adalah pengalaman eksistensial manusia. Manusia tidak pernah bebas dari keadaan ini. Manusia adalah makhluk yang dilahirkan sendirian dan mati sendirian.


Manusia memiliki kesepian asali (orginal solitude). Kesepian adalah kondisi psikologis yang tidak tentram karena harapan yang tak sampai digapai, rindu yang tak ada habisnya, menunggu dalam risau dan gelisah.


Kesendirian adalah keberadaan sendiri, tetapi selalu mungkin dalam kesiapan dan kerelaan untuk secara kreatif merenungi diri. Kesepian dan kesendirian selain sebagai suasana hati dan keterangan fisik yang tersituasikan secara kurang beruntung, tetap selalu potensial untuk manusia dalam menyadari diri secara ontentik. Manusia sungguh-sungguh akan diri dan hidup ketika ia asyik masuk atau tenggelam dalam kesepian dan kesendirian.


Rendra[10] meskipun cakap mengolah pikiran (panggrahito), penghayatan batin (suroso) dan tajam secara indrawi, toh tampak sentimental dan melankolis. Ia seorang seniman yang tahu betul kesepian itu milik manusia ketika menghadapi kemerdekaan tanpa cinta dan karena cinta telah sembunyikan pisaunya.


Kesepian adalah konsekuensi dari mencintai. Tidak ada cinta tanpa kesepian. Rendra, penyair kelahiran Kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, 7 November 1935, memiliki cinta itu dengan narasi penolakan sebagai akibat dari rasa ditinggalkan: ia sepi sendiri, tungku tanpa api.


Inilah episode paling menggelisahkan. Berat memang. Ia sendiri mengatakan bahwa kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan sebab membayangkan wajah kekasih adalah sebuah siksa. Ia mengungkapkan kesepiannya secara jujur dan lengkap lewat puisinya berikut ini.

KANGEN[11]


Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku

menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

kau tak akan mengerti segala lukaku

karena cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.

Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.

Apabila aku dalam kangen dan sepi

itulah berarti aku tungku tanpa api.

Ekspresionisme[12] Rendra dalam sajak di atas membawa pembaca pada realitas batin yang disayat habis-habisan oleh pisau asmara yang bernama rindu, atau Rendra dengan polos dan lugu menyebutnya, kangen.


Perasaan ini lahir karena adanya kebersamaan relasional intim, intimacy dari dua orang anak manusia: laki-laki dan perempuan sebelum ada yang pergi. Persekutuan cinta tidak selamanya langgeng secara fisik sebab ekistensi manusia di dalam dunia terbatas. Ada waktu manusia hidup dalam ruang yang berbeda. Kebersamaan akan mendapat makna sebenarnya apabila ada perpisahan dan sebuah kepergian yang kekal.


Menghadapi situasi ini jiwa tersiksa. Jiwa bisa saja memberontak dan menolak. Penolakan itu Rendra tampilkan pada baris ini: Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku. Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta. Kau tak akan mengerti segala lukaku. Karena cinta telah sembunyikan pisaunya. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Saya membaca baris-baris kalimat ini sebagai feeling penyair akan sebuah penolakan. Diksi perasaan yang kental.


Pengalaman psikologis macam ini bisa saja mengganggu rasionalitas. Orang bisa terjebak dalam melankolia, hanyut dalam rasa keterasingan dan ketakutan. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan, dan ingatan akan dia menjadi usaha yang sia-sia sebab tak ada yang bisa digapai lalu jadi tersiksa. Membayangkan wajahmu adalah siksa.


Dia menjadi sesuatu yang lain, yang menakutkan. Dia telah menjadi racun bagi darahku. Namun kesadaran dan kepasrahan tetap menjadi bagian di dalamnya. Kesadaran bahwa saya memang sedang sendiri dalam kesepian dan rasa rindu, kangen. Apabila aku dalam kangen dan sepi. Itulah berarti aku tungku tanpa api.


Baris terakhir menjadi sense yang menarasikan kesepian hebat yang dialami oleh penyair. Rendra mengungkapkannya secara jujur dan lugu.

III. Menyimak “Kesendirian”[13] Kita


Kesendirian kita adalah realitas hidup yang lepas bebas tanpa terikat oleh relasi intim pacaran dan perkawinan. Ini bukanlah panggilan hidup tanpa risiko.


Pada kesemptaan retret dalam pertemuan bersama pembimbing, saya menemukan jawaban sebagai konsekuensi yang harus diterima dari pilihan hidup membiara. Suster pembimbing mengatakan bahwa frater engkau harus siap menerima risiko kesepian.


Saya pikir kata-kata suster masuk akal sebab pada kodratnya manusia laki-laki dan perempuan harus hidup bersama. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Allah tidak pernah menciptakan hanya satu orang manusia sebab tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18).


Hakikat penciptaan adalah sebuah dinamika relasional natara laki-laki dan perempuan. Nah, karena itu, ketika memilih jalan hidup yang tidak biasa, saya pasti menerima kosekuensi kesepian dalam kesendirian.


Kita pada waktu tertentu akan mengalami (atau mungkin “menikmati”) dinamika rasa rindu dan kangen. Kita bergulat dengan gejolak emosi dan kerinduan untuk dibelai, dicium, dan dipeluk. Adalah manusiawi jika kita mengalami dan menerima fakta kemanusian itu. Apabila kita menolak atau seolah-olah tidak menyadarinya itu berarti kita salah menghidupi kemanusia kita.


Keterbukaan psikologis dan kognitif pada problem emosional sangat dibutuhkan. Tidak usah gelisah dan takut. Kesepian adalah pengalaman istimewa yang membuat kita bertumbuh dan pada waktunya berbuah.


Pilihan pada hidup menyendiri memberi ruang pada kreativitas. Kita tidak terikat pada siapa dan apa. Kita terbenam dalam sunyi dan menziarahi semesta raya. Kita diilhami untuk melihat dengan mata spiritual.


Kesendirian kita pada tempat ini seharusnya membawa kita pada perjumpaan yang personal dan intens dengan Tuhan. Biarlah keheningan yang berbicara. “Diamlah dan ketahuilah Allah (Mzr. 46:11).


Dengan ini kita dapat berbuat banyak. Kita dapat membaca dengan penuh konsentrasi, menulis dengan gairah yang mendalam, dan berdoa dengan penuh penyerahan diri. Dalam ruang kesunyian dan keheningan kita dimungkinkan untuk lebih kreatif mengeksplorasi diri, mengenal bakat dan kemampuan, dan mengembangkan diri menjadi lebih bernas sehingga berguna bagi hidup bersama.


Thomas Merton menulis, “Aku tinggal di dalam hutan karena membutuhkannya. Aku bangun di tengah malam karena harus mendengar keheningan malam, sendiri, dan dengan wajah menyentuh lantai, melantunkan mazmur, sendiri, dalam keheningan malam”. Inilah dinamika penghayatan kesendirian seorang rahib.


Semoga kesendirian kita dengan kesepian yang khas membuat kita semakin jujur dan terbuka dengan realitas batin yang dialami. Rendra menunjukkan kejujuran emosional lewat puisi sedangkan kita lewat kreativitas pribadi yang dimiliki oleh masing-masing kita. Apapun bentuk kreativitas itu tentu menjawabi kerinduan jiwa dan gelora rindu.


Menjawabi kesepian dan kesendirian penyair menulis puisi untuk merapikan jiwa, meneguhkan batin dengan kata agar kemanusiannya menjadi setegar karang seputih buih. Penyair memilih puisi “karena memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dan melimpahi dan meneguhkan kesadaran” (Marin Heidegger).


Saya mengakhiri tulisan ini dengan puisi yang saya beri judul Kuk Rindu.

Rindu adalah beban paling manis

yang setia memiliki pundak

Ada kelelahan yang merona pada setiap butir peluh

yang berderit pada pori-pori kenangan

Beban tanpa lelah adalah ilusi,

sebagaimana kau tahu, aku kecapaian

tapi lelah ini adalah salju

mengajarkan aku mencintai tubuh memeluk jiwa

Ah,

Kuk rindu adalah dirimu

yang manis dan manja

Wisma Arnoldus, Oktober 2020


[1]F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian Sebuah Pengantar Menuju Sein Und Zeit (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2020), hlm. 47-48. [2]Martin Heidegger, Filsafat Sudah Mati (penerj. Yudi Santoso) (Yogyakarta: Circa, 2029), hlm. 8-9. [3]Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus Pemabahasan tentang Logika-Filsafat (Penerj. Stephanus Aswar Herwinarko) (Yogyakarta: Circa, 2020), hlm. 30. [4]E. Sumaryon, Dasar-Dasar Logika (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 25. [5]Dalam kajian linguistik makro dibicarakan masalah bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor luar bahasa yang berkaitan dengan aktivitas manusia di dalam masyarakat. Karena itu dikenal masyarakat bahasa, variasi bahasa, aturan dan status sosial bahasa, kontak bahasa, bahasa dan budaya, serta klasifikasi bahasa. Bdk., Yohanes Orong, S. Fil., M.Pd., “Lingustik Umum” (Bahan Kuliah di STFK Ledalero), 2014, hlm. 35-59. [6]Unsur simbol berkaitan dengan kata, nama, atau frase yang dipergunakan untuk menyebut sesuatu. Unsur objek berhubungan dengan benda yang disebut dengan simbol. Unsur referensi merupakan merupakan makna yang menjembatani hubungan anatar simbol dan yang disimbolkan. Unsur terakhir, subjek, yaitu individu pelaku yang yang menciptakan simbol dan menggunakannya pada suatu hal khusus. Bdk., E. Sumaryon, op. cit., hlm. 27. [7]Saya menyebut bahasa puisi sebagai bahasa hati penyair karena menulis puisi menuntut kecerdasan afeksi, konektivitas perasaan yang intim dengan diimbangi logika dan refleksi yang memadai. Menulis puisi melibatkan penuh perasaan dan sedikit pikiran yang mendalam. Menurut H. B. Jassin puisi merupakan suatu pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tangapan-tanggapan. [8]Goenawan Mohamad menulis sebuah catatan pada bagian akhir buku puisinya, Fragmen (2017). Dalam suatu paragaraf ia menulis, kata-kata ini saya pinjam dari Kafka. ‘menulis’ merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa…. ‘menemukan’ bahasa berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru – mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi – karena ia belum ada di kancah orang ramai. ‘Menemui’ bahasa adalah bergerak pada bahasa yang hidup di permukaan komunikasi, ‘menemukan’ bahasa berawal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ibarat kawah di bawah kepundan yang mengeluarkan asap…, bdk., Goenawan Mohamad, Fragmen (Jakarta: Gramedia), hlm. 58. [9]Rendra menulis, “Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa”. Penyair memahami keutuhan diri di dalam totalitas universum. [10]Memiliki nama lengkap Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo. Lahir pada 7 November 1935, pukul 17.05, Kanis-Kliwon di kampung Jayengan. Ayahnya Brotoatmojo, seorang guru Bahasa Indonesia dan Jawa Kuno. Ibunya bernama Raden Ajeng Ismadillah, anak seorang wedana keraton yang mengurus minuman danke lender. Orang tuanya menyekolahkan Rendra di sekolah Katolik milik Yayasan Kanisius yang dikelolah oleh suster Fransiskan dari Misi Katolik Belanda. Di sekolah itu Rendra diajarkan untuk menganalisis secara ilmiah dan berani mengungkapkan diri secara kreatif, bebas dan teratur. Di rumah dalam asuhan seorang kerabat (Mas Janadi) Rendra diajari kesadaran pancaindera, kesadaran pikiran, dan kesadaran naluri. Iklim pendidikan di sekolah dan di rumah yang demikian menumbuhkan jiwa senimannya yang menghargai realisme dan asyik masuk dalam filsafat, mistik, ilmu pengetahuan, dan agama. Setelah SMA, Rendra melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Jurusan Sastra Inggris. Pada tahun 1964-Agustus 1967 lanjut belajar di American Academi Of Dramatic Arts. Sepulangnya dari Amerika bersama teman-temannya Rendra membentuk Bengkel Teater yang cukup produktif di tahun 70-an sampai 1978. Rendra selain sebagai penyair yang berhasil dalam pembacaan puisi-puisinya (Blues untuk Bonnie, Rick Dari Corona, Nyanyian Angsa, Khotbah, Di Antara Pilar-Pilar), ia juga seorang dramawan profesional. Karya-karyanya berupa kumpulan puisi: Balada Orang-Orang Tercinta (Pustaka Jaya, 1951), Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961), Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971). Rendra, Burung Merak dari Parangtritis meninggal pada 6 Agustus 2009. Bdk., Edy Haryono, “Biografi W. S. Rendra”, dalam W. S. Rendra, Stanza dan Blues (penyunt. Edy Haryono) (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016), hlm. 90-120. [11]W.S. Rendra, op. cit., hlm. 15. [12]Aliran kesusastraan yang lebih mementingkan kejiwaan sehingga berbeda dari realisme dan naturalisme. Dalam ekspresionisme semuanya meletus melebur dari dalam jiwa pengarang akibatnya alam benda (dengan bentuk-bentuk kebendaannya) dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi-manifestasi kejiwaan. Bdk., Mochtar Lubis, Sastra dan Tekniknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 91. [13]Saya memahami kesendirian kita dalam konteks relasi (intimitas) atau persekutuan cinta laki-laki dan perempuan. Eviden bahwa kita hidup sendiri tanpa seorang kekasih, pendamping jiwa yaitu perempuan. Kita tidak memiliki pasangan hidup, meskipun Tuhan bersabda, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18). Dengan ini kita dituntut untuk siap dan terbuka menanggup salib kesepian. Namun kita juga perlu menyadari bahwa kesendirian kita memiliki dimensi spiritual (ikut Yesus) dan dimensi kreativitas, kensendirian yang mencipta. Kesendirian kita bukanlah realitas katastrof melainkan sikap hidup lepas bebas, keberanian untuk beralih dari “kota”, dari hiruk-pikuk peradaban menuju “bukit sunyi”, ruang perjumpaan dengan Tuhan dan dengan diri sendiri, kemudian darinya kita sanggup “berbuat banyak”. Di seminari ini kita berusaha untuk berdamai dengan diri dan terbuka terhadap realitas. Kita sebetulnya menjadi lebih kreatif dalam kesendirian.

881 views0 comments
bottom of page