Kamis, 2 Januari 2020
Bacaan: Yohanes, 1:19-28
Bapa Ibu, sama saudara sekalian, hari ini kita merenungkan Injil Yohanes tentang kesaksian Yohanes tentang dirinya sendiri. Pengalaman dalam kisah Injil yang membenarkan kesaksian tersebut adalah ketika Yohanes memberi pengakuan usai beberapa Imam yang diutus oleh beberapa orang Yahudi dan Yerusalem menanyakan kepadanya tentang dirinya. Orang farisi datang dengan keingintahuan mereka tentang kabar yang sudah dan sedang mereka dengar tentang “Dia yang akan datang”. Setidaknya terdapat keingintahuan tentang sosok itu. Dan kepada mereka, dihadapkan Yohanes. Yohanes memberi kesaksian akan dirinya sendiri yang mana dirinya lebih dihadirkan sebagai sosok yang mempersiapkan segala sesuatu akan kedatangan Yesus. Oleh pengalaman ini, Yohanes ingin mengisahkan kepada kita bahwa mengakui orang lain adalah bagaimana kita mengakui diri sendiri.
Pengalaman sering mendefinisikan secara komprehensif apa itu mengakui orang lain. Mengakui orang lain mencakup banyak aspek. Mengakui orang lain bisa juga mencakup mengakui kelebihan orang lain, mengakui kecakapan orang lain, mengakui pengalaman orang lain, mengakui keterbatasan diri, dan pengakuan akan banyak hal lainnya. Tidak jarang kita temui, juga atau kita rasakan sendiri bagaimana rasa iri hati bertumbuh secara subur dalam ruang lingkup kehidupan kita. Rasa iri hati bisa juga hadir sebagai dampak dari keenganan seseorang mengakui kelebihan orang lain. Oleh perasaan iri hati, semua yang baik dari sesama menjadi buruk dan tidak berguna. Hidup luas kemudian diartikan sebagai sebagaimana sebuah kompetisi yang mana setiap orang harus berjuang secara maksimal, sedang yang lainnya hanya menanti saat kapan rasa iri hati mendominasi lalu semua yang baik menjadi buruk. Itulah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita. Hampir jarang kita mendengar atau menemukan adanya pengakuan terhadap diri juga terhadap kelebihan orang lain. Oleh pengalaman injil hari ini, kita secara pribadi atau juga dalam keluarga kita dipanggil untuk mendefinisikan secara pribadi apa itu mengakui orang lain? Dalam banyak kata, hal ini dapat didefinisikan secara pribadi, namun baiklah kita oleh Injil hari ini merefleksikan tentang bagaimana dalam komunitas kita, kita mengakui orang lain. Lebih tepatnya, apa itu apresiasi terhadap sesuatu yang menjadi milik orang lain? Dan bagaimana kita mengaktualisasikan apresiasi dalam kehidupan kita? Mengakui orang lain juga berarti menerima orang lain.
Yohanes dalam kisah Injil hari ini mengajarkan kita beberapa hal penting.
Pertama, Aku bukan Mesias. Selain sisi pengakuan terhadap Yesus, hal ini juga menerangkan penolakan akan diriNya dan gelar yang diberikan ahli taurat pada dirinya. Menerima orang lain dalam aspek paling sederhana juga dapat berarti menolak diri; menolak ego diri untuk mau masuk dan menjadi bagian dari sesama. Menolak diri juga berarti memberikan yang terbaik untuk orang lain (baca: sesama) sambil lebih banyak berkorban. Yohanes tidak menjelaskan dirinya sebagai Yesus, namun Ia menjelaskan siapa itu Yesus, sambil menolak semua pengakuan yang berasal dari beberapa Imam dan orang Lewi.
Kedua, Akulah suara yang berseru di padang gurun, luruskanlah jalan Tuhan. Di sini makna pengakuan akan orang lain lebih mengarah kepada arti sebuah pelayanan. Yohanes datang untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Ia bukan Mesias, namun Ia mempersiapkan jalan mesias. Mau menjadi orang katolik, sama artinya dengan menjadi seorang pelayan. Kita melayani sambil memaknai Yohanes yang mempersiapkan segala sesuatu sebelum kedatangan Tuhan.
Ketiga, Membuka tali kasutnya pun, aku tidak layak. Bahkan untuk hal sederhana seperti tali kasut, Yohanes menganggap dirinya tidak layak di hadapan Tuhan. Belajar mengakui lalu menerima orang lain juga berarti mau menjadi rendah, dan berusaha menjadi hamba bagi orang lain. Kita sering dihadapkan pada banyak pengalaman, yang mana menjadi hamba adalah sebuah kondisi kotor dan tidak mengenakan, namun lebih darinya menjadi hamba sejatinya adalah sebuah usaha untuk mengosongkan diri dari setiap ketamakan diri dan belajar meneladani Yohanes yang rendah hati. Olehnya, kita sekalian dipanggil untuk belajar menerima orang lain, sambil belajar untuk selalu rendah hati dalam menyikapi setiap realitas yang ada dalam kehidupan kita. Amin.