Sie Wisma Gelar Bincang-Bincang Sastra *Pater Fredy Sebo: Menulis Puisi Tidak Boleh Cengeng
- SEMINARI TINGGI ST. PAULUS LEDALERO
- Oct 27, 2020
- 3 min read

BERBICARA - Moderator kegiatan, Frater Yonsi Pador (pegang mic) sedang berbicara. Foto dari kiri: Frater Aristo Jomang sebagai penanggap II, Frater Yonsi Pador (pegang mic), Frater Yohan Mataubana sebagai penanggap I, dan Frater Edy Soge sebagai pemateri.
Seminariledalero.org - Seksi Wisma Seminari Tinggi Ledalero menggelar Bincang-Bincang Sastra bertema Membaca Kesepian Rendra dan Menyimak Kesendirian Kita, Sabtu malam (23/10/2020). Kegiatan ini berlangsung di kamar makan Unit Arnoldus Yansen Nitapleat.
Ketua Seksi Wisma, Frater Selo Lamatapo, menyampaikan bahwa kegiatan ini digelar dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober mendatang.
“Kami mengisi momen ini dengan mengadakan bincang-bincang sastra. Kami bermaksud agar para pecinta sastra dapat membagikan pengetahuan mereka sekaligus saling bertukar pikiran,” kata Frater Selo.
Bincang-bincang ini menghadirkan Frater Edy Soge sebagai pemateri, Frater Yohan Mataubana sebagai penanggap I dan Frater Aristo Jomang sebagai penanggap II. Sementara moderator kegiatan ini ialah Frater Yonsi Pador.
Dalam materinya, Frater Edy Soge mengupas tiga poin utama tulisannya, yakni bahasa puisi, kesepian Rendra, dan kesendirian kita. Tiga poin ini menjadi judul materinya.
Menurut Frater Edy, Bahasa puisi adalah bahasa artistik penyair. Penyair adalah seniman yang memiliki bahasa yang khas. Bahasa yang penyair ciptakan tidak dipungut dari tutur kata keseharian, tetapi dari kedalaman cita rasa afeksional. Bahasa puisi adalah bahasa hati seorang penyair.
“Penyair tidak pernah menulis hanya tentang dirinya. Ia adalah bagian dari dunia dan puisi yang dilahirkannya adalah sebuah riwayat hidup bersama dalam dunia. Meskipun puisi lirik sekalipun yang mengungkapkan pengalaman personal, tetap selalu dalam korelasi dengan yang lain. Puisi adalah bahasa penyair tentang kehidupan,” papar Frater Edy.
Bahasa puisi, kata Frater Edy, memiliki karakteristik sendiri dengan ragam bahasa yang lain. Bahasa puisi tidak normatif (non-ilmiah), apalagi ideologis. Ia kaya akan makna dan interpretasi karena mengandung polisemi, konotasi, simbol, metafora. Bahasa puisi bersifat stilistik (kaya akan gaya bahasa). Kekhasan ini mengahantar pembaca kepada arti yang mendalam tentang apa yang terucap dalam puisi.
Selanjutnya, pada poin kedua Frater Edy mengupas tentang kesepian Rendra. Frater Edy mencoba memasuki kesepian Rendra melalui puisi Rendra berjudul Kangen.
Rendra, kata Frater Edy, meskipun cakap mengolah pikiran (panggrahito), penghayatan batin (suroso), dan tajam secara indrawi, toh tampak sentimental dan melankolis.
“Ia seorang seniman yang tahu betul kesepian itu milik manusia ketika menghadapi kemerdekaan tanpa cinta dan karena cinta telah sembunyikan pisaunya,” ujar Frater Edy.
Pada bagian ketiga Frater Edy mengaitkan dua bagian itu dengan kesendirian kita. Kita yang ia maksudkan adalah biarawan-biarawati.
Kesendirian kita, kata Frater Edy, adalah realitas hidup yang lepas bebas tanpa terikat oleh relasi intim pacaran dan perkawinan. Ini bukanlah panggilan hidup tanpa risiko. Pilihan pada hidup menyendiri memberi ruang pada kreativitas.
“Kita tidak terikat pada siapa dan apa. Kita terbenam dalam sunyi dan menziarahi semesta raya. Kita diilhami untuk melihat dengan mata spiritual. Kesendirian kita pada tempat ini seharusnya membawa kita pada perjumpaan yang personal dan intens dengan Tuhan. Biarlah keheningan yang berbicara,” katanya.
“Semoga kesendirian kita dengan kesepian yang khas membuat kita semakin jujur dan terbuka dengan realitas batin yang dialami. Rendra menunjukkan kejujuran emosional lewat puisi, sedangkan kita lewat kreativitas pribadi yang dimiliki oleh masing-masing kita,” tutup Frater Edy.
Selanjutnya, kedua penanggap mengapresiasi pemateri untuk sajian materi yang berguna bagi khalayak. Ada banyak pertanyaan dan tanggapan dari penanggap maupun peserta kegiatan.
Muara pertanyaan seputar puisi dan kesendirian, di antaranya perbedaan sunyi dan sendiri, keterbatasan bahasa puisi, proses penulisan puisi, dan kesepian sebagai ruang menemukan jati diri.
Tidak Boleh Cengeng
Moderator Seksi Wisma yang juga penulis, Pater Fredy Sebo, dalam kesempatan ini menyampaikan beberapa tips bagi para penulis puisi. Menurut Pater Fredy, ada tiga tips yang boleh diperhatikan seorang penulis puisi.

Pertama, penulis harus pandai bercakap dengan diri sendiri. Kedua, menulis puisi berbeda dengan menulis karya ilmiah. Ketiga, menulis puisi itu jangan cengeng agar puisi kita tidak diolok-olok pembaca atau dibuang di kotak sampah.
“Supaya puisi kita berkualitas, kita harus serius dan sungguh-sungguh dalam menulis puisi. Ini menjadi modal dasar menumbuhkembangkan krativitas dan kemampuan menulis puisi,” tutup Pater Fredy.
Turut hadir dalam kegiatan ini Pater Yanto Naben (Prefek Unit Arnoldus Yansen), para suster, dan para frater.
Penulis: Frater Akri Suhardi
Comments