Seminariledalero.org - Menanggapi realitas Indonesia saat ini, Unit Rafael mengadakan diskusi sastra bertema Membaca Indonesia, Senin malam, (19/10/20). Kegiatan ini berlangsung di Mojok Rafael.
Ketua Seksi Akademi Unit Rafael selaku inisiator kegiatan ini, Frater Ino Mori, menyampaikan bahwa kegiatan ini bermaksud mengajak kita semua untuk merenungkan situasi Indonesia saat ini.
“Kami memilih karya-karya Gus Mus karena bagi kami puisi-puisi Gus Mus masih sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini,” terangnya.
Lebih dari itu, kami berusaha mendorong semangat teman-teman untuk bertukar pikir pengetahuan.
“Melalui diskusi, kita bisa menambah wawasan kita,” lanjutnya.
Tampil sebagai pemateri dalam kegiatan ini adalah Frater Riko Raden, Frater Eman Mere, dan Frater Rikard Diku. Sementara moderator diskusi adalah Frater Force Nara. Para pemateri berusaha membaca Indonesia melalui puisi-puisi Gus Mus, penyair Indonesia.
Frater Riko Raden dalam pemaparan materinya menanggapi secara kritis puisi ‘Negeriku’ karya Gus Mus. Bahwasanya, puisi tersebut merupakan suatu sindiran atau kritik atas kepincangan negara Indonesia saat itu, bahkan masih relevan hingga saat ini.
“Dalam puisinya, Gus Mus sesungguhnya menyindir para pemegang kekuasaan atas pengkhianatan mereka terhadap amanah yang dipercayakan masyarakat. Ia juga menegaskan bahwa negara Indonesia sudah kehilangan keasriannya sebagai negara agraris akibat hegemoni wilayah oleh para kapitalis dan inkonsistensi dari pemerintah,” papar Frater Riko.
Sementara Frater Eman meneropong puisi ‘Negeriku’ lebih sebagai tanggapan Gus Mus terhadap pemerintahan orde baru, di mana Indonesia berada di bawah pimpinan Presiden Soeharto dengan segala kediktatorannya.
“Puisi Negeriku merupakan representasi dari realitas masyarakat Indonesia saat itu, di mana hak-hak asasi hanya menjadi catatan pinggir, penculikan, dan makraknya dalih pembunuhan dan kebebasan berpendapat sangat dibatasi. Hemat saya, fakta problematis ini masih berlangsung hingga saat ini,” kata Frater Eman.
“Pemerintah yang semestinya menjadi panutan untuk menciptakan kedamaian, justru tampak sebagai pemicu konflik sosial,” lanjut Frater Eman.
Berbeda dengan kedua pemateri ini, Frater Rikard mengulas puisi Gus Mus yang berjudul “Di Negeri Amplop”. Rikard dalam ulasannya yang berjudul “Menyingkap Sebuah Amplop dalam Kepala Gus Mus” menginterpretasi lebih dalam perihal praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi saat itu.
“Amplop yang dimaksudkan oleh Gus Mus merujuk pada konsep sumbangan, bantuan, pungutan liar dan uang pelicin (korupsi). Hal ini tampak pada bait di negeri amplop, amplop-amplop mengaplopi apa saja dan siapa saja. Puisi Di Negeri Amplop sesungguhnya masih relevan dengan dinamika hidup negara Indonesia saat ini,” papar Frater Rikard.
Diskusi ini berjalan lancar. Para peserta yang hadir mengajukan pelbagai pertanyaan dan komentar. Pada umumnya, peserta menanyakan latar belakang pemilihan puisi-puisi Gus Mus sebagai tema membaca Indonesia, penggunaan bahasa ironi dan gaya bahasa dalam puisi Gus Mus, dan lain-lain yang berhubungan dengan tema.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan, Frater Har Yansen menjelaskan suasana dan konteks Gus Mus pada zaman orde baru.
“Majas digunakan sebagai bahasa puisi dan merupakan representasi dari suatu konteks atau situasi tertentu. Gus Mus hidup di bawah kediktatoran Presiden Soeharto. Saat itu, seluruh komponen masyarakat terutama para cendikiawan dibungkam. Sehingga cara yang efektif untuk menyindir pemerintah adalah penggunaan majas dalam puisi,” jelas Frater Har Yansen.
Selanjutnya, Pater Sil Ule dalam komentarnya mengatakan bahwa puisi-puisi Gus Mus bersifat konotatif di mana Gus Mus membentuk actus makna dalam puisi-puisinya.
“Setiap orang memiliki otoritas untuk menafsir puisi tertentu. Seperti Ignas Kleden yang bukan seorang sastrawan telah berhasil menginterpretasi karya-karya sastra seperti puisi,” ucap Pater Sil Ule.
Kegiatan ini mendapat apresiasi positif dari peserta yang hadir pada kesempatan itu. Peserta yang hadir adalah para frtater dan bruder Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dan partisipan.
Penulis: Bruder Legi Oki
Comments