Titehena, Flores Timur — Di tengah cuaca cerah yang berselimut debu tipis erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, 20 relawan tiba di Desa Eputobi, tempat istirahat sementara sebelum menjalankan misi kemanusiaan. Para relawan ini, terdiri dari seorang imam SVD bernama Pater Nar Hayon, SVD, 15 Frater dari Kongregasi SVD, dan empat orang sopir yang membawa mereka dari Maumere menuju Oputobi. Pakaian mereka yang tadinya basah karena diguyur hujan, kini mengering di badan. Mereka hadir di sini mewakili JPIC SVD, bekerja sama dengan IFTK Ledalero, serta atas nama Gereja, untuk memberi bantuan dan tanda uluran tangan kepada warga yang terdampak bencana letusan dan erupsi Gunung Lewotobi yang masih saja mengeluarkan asap.
Baca Juga:
Setelah melepas lelah sejenak, kelompok relawan dibagi menjadi dua kelompok. Sebagian relawan bergerak ke arah barat, dengan target para korban yang mengungsi di dua desa, sementara kelompok lainnya menuju timur, dengan tujuan tiga desa. Dengan bahan bantuan yang telah dibungkus rapi dalam karung-karung besar di bak pick up, mereka siap membagikan bantuan berupa beras, ikan kering, sabun, detergen, dan sembako lainnya seperti minyak, kopi, dan gula. Tim peliput bersama para relawan bergerak ke arah Timur, menuju tiga desa yaitu, Desa Watotika Ile, Desa Lamika, dan Desa Leroboleng-Leworook.
Sekitar pukul 17.00 WITA, mobil rombongan relawan tiba di Desa Watotika Ile, yang terletak di pinggir jalan utama menuju Larantuka. Sinar matahari yang mulai meredup memberikan suasana hangat, sementara debu tipis dari erupsi gunung mengiringi kedatangan para relawan. Di desa ini, pengungsi berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Kedatangan para relawan diterima baik oleh pihak aparatur desa dan terutama para pengungsi yang dengan antusias menyambut kedatangan kelompok relawan.
Sebelum membagikan bantuan, Pater Nar menjelaskan tentang maksud kedatangan mereka. "Kami datang untuk menyampaikan kasih dan uluran tangan dari saudara-saudara kita yang ingin membantu. Ini adalah wujud kepedulian bersama, meskipun apa yang kami bawa tidak terlalu banyak dan tidak melengkapi semua kebutuhan, tetapi kiranya bisa sedikit meringankan beban Bapa dan mama sekalian," ucapnya dengan suara mantap dan penuh kasih. Jumlah pengungsi yang terdaftar di desa ini sekitar 118 jiwa yang tersebar di rumah-rumah warga. Menurut data dari kepala dusun, Bapak Yos Hayon, bahwa para pengungsi di desa tersebut kebanyakan berasal dari Nobo, Dulipali, Klatanlo, Hokeng Jaya, dan dari Boru. Dari data yang diterima, jumlah itu pun masih belum lengkap karena masih ada pengungsi yang baru tiba di desa tersebut dan belum dimasukan dalam data. Para pengungsi di desa ini mayoritas orang dewasa dan anak-anak. Namun, ada pula lansia bahkan ada yang sedang mengalami sakit kronis.
Sambil membagikan bantuan, para relawan menyempatkan diri berbincang dengan warga, mendengar kisah perjuangan mereka dalam menghadapi bencana. Seorang pengungsi Gradiana Indah (mama Diana) yang rumahnya hancur diterjang hujanan lava di Hokeng Jaya, berbagi kisah tentang bagaimana ia dan keluarganya mesti mengungsi. Dia bercerita bahwa dia dan keluarga masih mengalami trauma berat pascakejadian. "Kami sekarang bingung ke depannya bagaimana, rumah dan kebun kami di hokeng sana rusak semua dan yang ada pada kami sekarang hanya pakaian yang kami pakai ini. Tapi untung para frater mereka ini datang. Kami berterima kasih sekali, ini sangat membantu. Rasa kebersamaan seperti ini yang membuat kami kuat," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak hentinya mengucapkan terima kasih kepada para relawan.
Setelah selesai di Desa Watotika Ile, para relawan melanjutkan perjalanan ke Desa Lamika. Letaknya tidak terlalu jauh, namun hari mulai semakin gelap. Cahaya bulan yang tertutup debu vulkanik mengiringi kehadiran para relawan di tengah para pengungsi yang berkumpul di rumah kepala desa. Menurut data yang diterima dari kepala desa, Bapak Florentinus Pnoli Leward, para pengungsi yang sudah terdaftar berjumlah 51 orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari Nobo, Dulipali, Boru, Hokeng Jaya, Pululera dan ada tambahan lagi dari Tabana. “Kesulitan kami di sini hanya air, kalau soal lain-lain kami dari desa bisa atasi dan bantu. Apalagi saat musim-musim begini cukup susah kami mendapatkan air. Bahkan kami mesti ambil di Bama,” ia menambahkan.
Di Lamika, jumlah pengungsi tidak sebanyak di desa sebelumnya. Para relawan bergerak cepat, membagikan bantuan dengan tetap memberikan waktu untuk mendengarkan keluh kesah para pengungsi. “Kami berterima kasih untuk para frater semua, selama ini memang ada bantuan yang kami terima tetapi untuk beras dan segala macamnya baru kami terima kali ini, saat para frater datang. Ini sudah lebih dari cukup untuk kehidupan kami ke depannya," ucap Blasius Tena Kwure, seorang tukang yang berasal dari Nobo.
Baca Juga:
Perjalanan ke Desa Leworook menjadi tantangan tersendiri. Berada lebih jauh di pedalaman, desa ini hanya bisa diakses melalui jalan aspal yang membentang di antara pepohonan hutan yang masih lebat. Meskipun medan cukup menantang. Di bawah remang cahaya bulan, mobil pick up yang membawa para relawan dan barang bantuan melaju manaiki tanjakan yang cukup menantang. Rasa Lelah dan kantuk menyelimuti para relawan. Di tengah situasi yang demikian, seorang relawan bernama Fr. Alfian Zonga berkomentar memecah kesunyian, “Teman-teman ini desa yang terakhir jangan lupa senyum e…kita datang ke sini membawa kegembiaraan bagi mereka, jangan datang tambah mereka punya beban dengan kita punya ekspresi ini”. Mendengar itu, semua sontak tertawa. Wajah berseri kembali mucul di wajah para relawan yang berusaha memberi harapan baru bagi pengungsi yang terdampak.
Pater Nar kembali menyampaikan pesan persaudaraan yang tulus kepada warga desa, berharap bantuan tersebut bisa menjadi penghiburan dalam masa-masa sulit yang dihadapi sekarang. Di desa terakhir ini, jumlah pengungsi lebih sedikit. Namun, rasa syukur mereka tidak kalah besarnya. Kebanyakan pengungsi di desa ini berasal dari desa yang sama akan tetapi mereka bekerja dan tinggal di Hokeng, di daerah-daerah terdampak di bawah kaki Gunung Lewotobi. Kebanyakan korban kembali ke rumah mereka masing-masing. Meskipun demikian, mereka cukup kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kepala desa Leroboleng-Leworook, Bapak Aloysius Witak Makin menjelaskan, “Kebanyakan pengungsi berasal dari sini. Banyak dari mereka yang bekerja di daerah terdampak dan pulang untuk mencari aman di rumah mereka di sini. Bapak kepala desa, yang adalah tamatan Seminari San Dominggo Hokeng itu menambahkan bahwa kebutuhan untuk ke depannya bagi para pengungsi di desa tersebut ialah fasilitas kesehatan dan sembako terutama bagi balita dan juga beberapa lansia.
Setelah selesai membagikan bantuan dan berbagi cerita dengan para pengungsi, para relawan kemudian kembali berkumpul di Oputobi untuk melepas penat dan sekadar menarik napas kemudian membereskan barang-barang. Lelah dan senang bahagia bercampur dan tergambar di wajah para relawan. Lelah dan senang karena perjalanan panjang mereka ternyata tak sia-sia. Seorang relawan yang bernama Fr. Korsin Budiman berkomentar, “Kita ini dari Maumere tadi pagi tidak bawa kita punya nama sendiri, tetapi kita bawa harapan dan cinta dari orang-orang yang baik hati memberi dari kekurangan agar para korban tidak merasa sendirian di situasi sulit ini. Saya senang meskipun capek, tapi kita sudah datang bantu mereka dan kunjung mereka di sini”.
Dalam perjalanan pulang, para relawan merasakan kepuasan batin yang mendalam. Meski kelelahan menyelimuti tubuh mereka, semangat kebersamaan dan solidaritas yang mereka bawa serta menjadi kekuatan yang menghangatkan hati. Bagi Pater Nar dan tim relawan, misi mereka di tanah Flores Timur ini bukan hanya sekadar memberikan bantuan fisik, tetapi juga menyampaikan pesan kasih yang tak ternilai. Sebuah perjalanan yang melelahkan, namun diisi oleh momen-momen yang membekas, dan menjadi bukti bahwa di tengah kesulitan, selalu ada tangan yang terulur dan hati yang peduli.
(Fr. Happi Putra,SVD)
Comments